1. LAFADZ AMM DAN KHAS
Menurut para ushul fiqih ayat –ayat hokum bila dilihat dari segi cakupannya
dapat dibagi kepada lafadz amm dan khas
Pengertian Lafadz Amm
Lafadz amm adalah ialah suatu lafadz yang menunjukkan satu makna yang
mencangkup seluruh satuan yang tidak terbatas dalam jumlah tertentu (rahmat
Syafi’I,2007.193)
Adapun dalam pendapat Al Amidi, seorang ulama’ mendefinisikan lafal amm
sebagai berikut :
هوا للفظ الواحد ال علمسلمىن فصاعدامتلقامعا
Artinya : “suatu lafal yang menunjukkan dua hal atau lebih secara bersamaan
dengan mutlak “
Dari devinisi diatas hakikat lafadz amm yaitu lafadz yang terdiri
dari satu pengertian tunggal, tetapi mengandung beberapa satuan
pengertian setiap lafadz tunggal dapat dipakai untuk setiuap satuan
pengertian secara sama dalam penggunaannya (www.C@hya Kehidup@n.htm)
Contoh lafadz amm seperti kata-kata “ Al- insani dalanm firman Alloh :
ان الا نسان لفى خسرالاالذىن امنوا وعملواالصالحات
(العصر)
Sesungguhnya manusia itu benar-benar berada dalam keadaan rugi, kecuali
mereka yang beriman dan mengerjakan ama saleh.
Kata-kata Al insani yang artinya manusia dalam ayat ini meliputi dan
mencangkup seluruh makhluk yang disebut manusia.(Zaina Abidin.1975.68)
Lafadz-lafadz yang menunjukkan umum
ü Lafadz-lafadz, seperti;
كلّ
: كل راع مسئول عن رعىتة
Artinya : setiap pemimpin dimintakan pertanggung jawaban tentang yang
dipimpinnya
جميع
: خلق لكم ما فى الأرض جميعا
Artinya : Alloh menjadikan segala sesuatu yang ada dibumi untuk kamu………….
Penjelasan : siapa saja yang menjadi poemimpin akan dimintai pertanggung
jawaban oleh Alloh dan apa saja semua yang ada di bumi dijadikan alloh untuk
kepentingan manusia.
ü Lafadz mufrad yang dima’rifatkan dengan Al-Jinsiyyah atau idhafah,
berikut masing-masing contohnya :
والسارق والسارقة فاقطعواأيد يهما
Artinya : laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah
tangan keduanya……………(surat Al maidah)
الزنىة والزانى فا جلدواكلواحدمنهمامائة جلدة (النور)
Artinya : perempuan yang berzina dan lelaki yang berzina deralah tiap-tiap
seorang dari keduanya seratus kali dera
Penjelasan : semua nyang berzina baik laki-laki atau perempuan maupun
lelaki wajib didera dan semua yang mencuri baik laki-laki maupun perempuan
wajib dipotong tangannya
ü Isim nakirah sesudah لا انافية (la menidakkan)
contoh:
ولاخناح عليكم فيماعرضتم به من خطبة النساء
Artinya: dan tidak ada dosa bagimu meminang wanita-wanita dengan sindiran
yang baik…….(surat Al baqoroh 235)
Penjelasan : ahwasanya tidak berdosa eseorang meminang wanita dengan
sindiran yang baik
ü Isim istifham seperti ما,.من,اين,متى Firman Alloh:
متى نصرالله الاان نصرا لله قريب
Artinya: bilakah datangnya pertolongan Alloh ingatlah sesungguhnya
pertolongan Alloh itu amatlah dekat.(surat Al Baqoroh 214)
Penjelasan : bahwasanya pertolongan Alloh itu bersifat umum kapan saja
dapat diberikan (Zainal Abidan,1975. 70)
Dalalah al-Aam
Terdapat perbedaan pendapat mengenai karakteristik dalalah al-‘am yang
tidak mengkhususkan semua satuannya, apakah pasti atau dugaan. Menurut
sebagian ulama ushul –di antaranya Syafi’iyyah- dalalah al-’am tersebut
menunjukkan keumuman dan bersifat dugaan, apabila dikhususkan maka sisa satuan
al-‘am juga dalalahnya dugaan. Ulama ushul lain, termasuk di dalamnya
Hanafiyyah berpendapat bahwa al-‘am yang tidak dikhususkan bersifat pasti
sedangkan sisa satuan setelah pengkhususan adalah dzanni (bersifat dugaan).
Pembagian al-Aam
Melalui pengkajian terhadap nash-nash, al-‘am dibagi menjadi tiga macam;
1) ‘Am yang secara pasti bermaksud keumuman,
sebagaimana firman Allah:
وََمَا مِن دَابَّةٍ فِى الأرضِ إِلاَّ عَلَى اللهِ رِزقُهَا.
(هود :٦ )
Artinya: “Dan tidak ada satu binatang melata pun di bumi melainkan Allah
pasti memberi rizkinya”.
2) ‘Am yang secara pasti dimaksudkan sebagai
kekhususan. Seperti Firman Allah SWT:
وَلله على الناس حِجُّ البَيتِ. ( ال عمران
: ۹۸)
Artinya: “Menunaikan haji ke Baitullah adalah kewajiban manusia terhadap
Allah”.
3) ‘Am yang dikhususkan, yaitu
al-‘am al-muthlaq yang tidak disertai qorinah yang meniadakan kemungkinan
pengkhususannya atau ditiadakan dalalahnya, seperti nash yang di dalamnya
terdapat lafadz-lafadz ‘am dan tidak ada qorinah lafadz, akal atau kebiasaan
yang bias menentukan kekhususan ataupun keumumannya sehingga keumumannya
menjadi khusus sampai ada dalil yang mengkhususkannya, contoh; والمطلقات يتربّصن بأتفسهنّ ثلا ثة قروء “perempuan-perempuan
yang dithalaq itu menunggu”. Menurut imam al-Syaukani, al-‘am yang
dimaksudkan sebagai kekhususan adalah al-‘am yang ketika diucapkan disertai
qorinah yang dapat menunjukkan bahwa yang dimaksud dengan al-‘am itu ialah
khusus bukan umum. (Zainal Abidan,1975. 82
Lafadz khas
Seperti yang dikemukakan Adib Shalih , lafal khas yang mengandung satu pengertian
secara tunggal atau beberapa pengertian yang berbatas.para ulama’ ushulm fiqih
sepakat seperti yang disebutkan Abu Zahrah , bahwa lafadz khas
dalam nash syara’, menunjukkan kepada pengertiannya yang khas secara qat’I
(pasti) dan hokum yang dikandungnya bersifat qat’I selama tidak ada indikasi
yang menunjukkan pengertian lain contoh lafadz khas:
……فكيفارتهاطعام عشرةمساكين من او سط ما تطعمون
اهليكموكسوتهم…….(المائد)
Artinya: …maka kaffarat melanggar sumpah itu , ialah member makan sepuluh
orang miskin , yaitu dari makanan yang bisa kamu berikan kepada keluargamu,
atau member pakaian kepada mereka
(Qs Al Maidah 89)
(Qs Al Maidah 89)
Kata asyarah dalam ayat tersebut diciptakan hanya untuk bilangan sepuluh ,
tidak lebih dan tidak pula kurang t. arti sepuluh itu juga sudah pasti tidak
ada kemungkinan pengrtian lain. Begitulah ayat khas dalam alqur’an, selama
tidak ada dalil yang memalingkannya kepada pengertian lain seperti ma’na majazi
(metafora). (Satria Effendi, 2005.205 )
Perbedaan Pendapat Akibat ke khotian Dilalah Khas
a) Menurut ulama Hanafiah
Lafadz khas tidak memerlukan penjelasan dari hadits , sebab dilalah khas
tidak memerlukan penjelasan. Jika ada nash lain yang bertentangan dengan lafadz
khas tersebut maka dianggap sebagai nasakh lafadz khas.
b) Menurut jumhur ulama
Bahwasanya lafadz khas itu dilalahnya qath’I namun tetap mempunyai
kemungkinan perubahan makna, sehingga apabila terdapat naskh itu dipandang
sabagai penjelasan terhadap lafadz khas itu
Perbedaan itu Contohnya pada masalah ruku’:
واركعوامعاراكعين
Artinya: ruku’lah bersama orang orang ruku’
Ulama’ hanafiah memandang bahwasanya ruku’ dalam sholat itu sebagai lafadz
khas untuk suatu perbuatan yang maklum yaitu condong dan bardiri tegak tanpa
tuma’ninah
Adapun hadits yang memerintahkan keharusan tuma’ninah adalah :
قم فصل لانك لم تصل
Berdirilah dan sholatlah karena engkau belum sholat
Disini ulama’ hanafiah berpendapat bahwa tuma’ninah bukan syarat sahnya
sholat , menurut mereka seandainya itu syarat sahnya sholat berarti merupakan
penambahan atas lafadz khas AlQuran yang jelas.
Sedangkan menurut jumhur memandang lafadz khas itu mempunyai kemungkinan
adanya penjelasan atau perubahan, maka mereka memandang lafadz khas itu sebagai
lafadz mujmal. Olah karena itu mereka menerima kemungkinan adanya penambahan
atas lafadz khas yang terdapat dalam Alquran dengan hadits ahad yang merupakan
penjelasanya .(Achmad Syaf’I.2007,190)
Macam-macam Lafadz khas
v Lafadz has berbertuk mutlak tanpa dibatasi qayyid atau syarat
Contoh:
والذين يظهرون من نسائهم ثم يعدون لما قا لوافتحريررقبة من
قبل ان يتماسا ذالكمتو عظون به والله بما تعملون خبير
Atinya : orang –orang yang mendzihar istri mereka . kemudian mereka hendak
menarik kembali apa yang mereka ucapkan, maka wajib atasnya memerdekakan
seorang budak sebelum kedua suami istri itu bercampur.demikianlah yang
diajarkan kepadamu, dan Alloh maha mengetahui apa yang kamu kerjakan.
v Lafadz khas berbentuk muqqoyyad (dibatasi qayyid)
Contohnya surat Annisa’ 42
ومن قتل مؤمناخطاء فتحرير رقبة مؤمنة
Artinya: barang siapa membunuh seorang mukmin karena tersalah hendaknya ia
memerdekakan seotang hamba sahaya yang beriman .
v Lafadz khas berbentuk amr
Contohnya dalam syurat annisa’ 58
ان الله ياء مروكم ان تؤدواالامنت الى اهلها
Artinya : sesungguhnya Alloh menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang
berhak menerinanya
v Lafadz khas yang berbentuk larangan
Contoh surat annahl 90
ان الله ياء مرون با لعدل والاءحسن وايتائ ذئ القربى وينهى
عن الفحشاء والمنكروالبغى يعظكم لعلكم تذكرون
Artinya: sesungguhnya Alloh menyuruh kamu berlaku adil dan berbuat
kebajikan member kepada kaum kerabat dan Alloh melarang dari perbuatan keji
kemungkaran dan permusuhan dia member pengajaran kepadamu agar kamu dapat
mengambil pelajaran (www.C@hya Kehidup@n.htm
smbr : Juhaya).
2. MUTLAQ DAN MUQAYYAD
Pengertian Mutlaq dan Muqayyad
Lafal Mutlaq
Kata mutlaq secara bahasa, berarti tidak terkait dengan ikatan atau syarat
tertentu. Secara istilah, lafal mutlaq didefinisikan ahli ushul fiqh sebagai
lafal yang memberi petunjuk terhadap maudhu’-nya (sasaran penggunaan lafal)
tanpa memandang kepada satu, banyak atau sifatnya, tetapi memberi petunjuk
kepada hakikat sesuatu menurut apa adanya. Sedangkan Abdul Karim Zaidan
mendefinisikan lafal mutlak sebagai lafal yang menunjukkan suatu satuan dalam
jenisnya. Dengan kata lain, lafal mutlak adalah lafal yang menunjukkan untuk
suatu satuan tanpa dijelaskan secara tertentu. Misalnya, rajulun (seorang
laki-laki), rijalun, (banyak laki-laki), kitabun (buku).
Contoh lafal mutlaq dalam nash dapat diamati dari lafal raqabah yang
terdapat dalam firman Allah surat al-Mujadilah, 58:3:
والذين يظاهرون من نساءهم ثم يعودون لماقالوافتحريررقبةمن
قبل ان يتماساذلكم توعظون به والله بماتعملون خبير
Orang-orang yang menzhihar isteri mereka, kemudian mereka hendak menarik
kembali apa yang mereka ucapkan, maka (wajib atasnya) memerdekan seseorang
budak sebelum kedua suami isteri itu bercambur. Demikianlah yang diajarkan
kepada kamu, dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.
Ayat ini menjelaskan tentang kaffarat zihar bagi suami yang menyerupakan
isterinya dengan ibunya dengan memerdekannya budak. Ini dipahami dari ungkapan
ayat “maka merdekakanlah seorang budak” Mengingat lafal raqabah (budak)
merupakan lafal mutlaq, maka perintah untuk membebaskan budak sebagai kaffarat
zihar tersebut meliputi pembebasan seorang budak yang mencakup segala jenis
budak, baik yang mukmin atau yang kafir. Pemahaman ini didukung pula pemakaian
kata raqabah pada ayat di atas merupakan bentuk nakirah dalam konteks positif.
Contoh lafal mutlaq lain dapat ditemukan pada firman Allah surat
Al-Baqarah, 2:234:
والذين يتوفون منكم ويذ رون ازواجايتربصن بانفسهن اربعة اشهرا
Orang-orang yang meninggal dunia di antaramu dengan meninggalkan
isteri-isteri (hendaklah para isteri itu) menangguhkan dirinya (ber’ibadah)
empat bulan sepuluh hari.
Lafal azwajan (isteri-isteri) dalam ayat ini merupakan lafal mutlaq. Oleh
sebab itu, tidak debedakan apakah wanita itu digauli atau belum digauli atau
belum digauli oleh suaminya, maka apabila suaminya meninggal iddah wanita
tersebut empat bulan sepuluh hari.
Dilihat secara sepintas lafal mutlaq mirip dengan lafal ‘aam, tetapi
sebenarnya antara keduanya berbeda. Pada lafal ‘amm keumumannya bersifat
syumuliy (melingkupi), sementara keumuman lafal mutlaq bersifat badali (mengingatkan).
Umum yang syumuliy ialah kulliy (keseluruhan) yang berlaku atas satuannya,
sementara keumuman yang badaliy adalah kulliy dari sisi tidak terhalang
menggambarkan untuk setiap satuannya, hanya menggambarkan satuan yang syumuliy.
Untuk melihat perbedaan antara kedua lafal ini dapat diamati dari firman Allah
di bawah ini.
1. Firman Allah dalam surat Hud, 11:6:
ومامندابة فى الارض الاعلى الله رزقهاوىعام مستقرهاومستودعهاكل
فى كتاب مبين
Dan tidak ada suatu binatang melatapun di bumi melainkan Allah-lah yang
memberi rezekinya, dan Dia mengetahui tempat berdiam binatang itu dan tempat
penyimpanannya. Semuanya tertulis dalam kitab yang nyata (Lauh Mahfuzh).
Apabila diperhatikan secara seksama dalam ayat ini terdapat lafal ‘amm yang
bersifat syuuliy (melingkupi), yaitu kata dabbah. Lafal ini umum karena
bentuknya nakirah yang mencakup semua jenis binatang melata. Isyarat keumuman
dalam ayat itu (menafikan sesuatu). Apabila lafal ‘amm pada ayat ini ditakhsis,
bukan berarti menghapuskan makna-makna lain yang dikandung dari keumuman
lafalnya. Makna-makna ini tetap dipandang ada, karena keumuman lafal ‘amm
bersifat syumuli.
2. Firman Allah dalam surat al-Baqarah, 2:67
واذقال موسى لقومه ان االله يا مركم ان تذبحوابقرة قالوا
اتتخذناهزواقال اعوذ با الله ان اكون من الجاهلين
Dan (ingatlah), ketika Musa berkata kepada kaumnya: Sesungguhnya Allah
menyuruh kamu menyembelih seekor sapi betina. Mereka menjawab: Aku berlindung
kepada Allah agar tidak menjadi seorang dari orang-orang yang jahil.
Dari ayat ini deketahui bahwa kata baqarah yang terdapat di dalamnya
merupakan lafal mutlaq yang bersifat umum lagi bersifat badaliy. Keumuman lafal
mutlaq ini meliputi bermacam-macam afrad. Apabila lafal mutlaq telah ditaqyid,
maka afrad-afrad lainnya sebagai cakupan dari lafal mutlaq tersebut, tidak
berkaku lagi.
Lafal Muqayyad
Secara bahasa, kata muqayyad berarti terikat. Sementara secara istilah,
muqayyad adalah lafal yang menunjukkan suatu satuan dalam jenisnya yang
dikaitkan dengan sifat tertentu. Misalnya, ungkapan rajulun Iraki (seorang
laki-laki asal Irak), hamba sahaya yang beriman.
Menurut Abu Zahrah pembatasan ini terdiri dari sifat, hal (keadaan),
ghayah, syarat, atau dengan bentuk pembatasan yang lainnya. Pengggunaan sifat
sebagai pembatasan dapat diamati dari firman Allah surat al-Nisa’, 4:92:
ومن قتل مومناخطا فتحريررقبة مومنة
Barangsiapa membunuh seorang mu’min karena tersalah (hendaklah) ia
memerdekakan seorang hamba sahaya yang beriman.
Kata raqabah dalam ayat ini memakai qayyid dalam bentuk sifat, yaitu,
mu’minah (beriman). Jadi, ayat ini memrintahkan kepada orang yang membunuh
seorang mukmin secara tidak sengaja untuk memerdekan hamba sahaya yang beriman
dan tidak sah memerdekan hamba yang tidak beriman. Contoh qayyid dalam bentuk
syarat dapat diamati dalam kasus kaffarat sumpah, seperti pada firman Allah
surat al-Maidah, 5:89:
لايواخذكم الله باللغوفى ايمانكم ولكن يواخذكم بماعقدتم الايمان
فكفارته اطعام عشرة مسا كين من اوسط ما
تطعمون اهليكم اوكسوتهم اوتحريررقبة فمن لم يجدفصيام ثلاثة
ايام ذ لك كفارةايمانكم اذاحلفتم واحفظوا ايما
نكم كذالك يبين الله لكم ءاياته لعلكم تشكرون
Allah tidak menghuku kamu disebabkan sumpah-sumpahmu yang tidak dimaksud
(untuk bersumpah), tetapi Dia menghukum kamu disebabka sumpah-sumpah yang kamu
sengaja, maka kaffarat (melanggar) sumpah itu ialah memberi makan sepuluh orang
miskin, yaitu dari makanan yang biasa kamu berikan kepada keluargamu, atau
meberi pakaian kepada mereka atau memerdekakan seorang budak. Barangsiapa tidak
sanggup melakukan yang demikian, maka kaffaratnya sumpah-sumpahmu bila kamu bersumpah
(dan kamu langgar). Dan janganlah sumpahmu. Demikianlah Allah menerangkan
kepadamu hukum-hukum-Nya agar bisa kamu bersyukur (kepada-Nya).
Ayat ini menjadi landasan tentang bolehnya puasa tiga hari untuk membayar
kaffarat sumpah dengan ada qayyid daam bentuk syarat. Sebab, hal ini baru
dilakukan ketika tidak mampu memberi makan sepuluh orang miskin, atau memberi
pakaian kepada mereka atau memerdekakan seorang budak.
Adapun contoh muqayyad dalam bentuk ghayyah dapat diamati pada firman Allah
surat al-Baqarah, 2:187:
ثم اتمواالصيام الى الليل
Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai (datang) malam.
Dalam ayat ini terdapat perintah menyempurnakan puasa yang dihubungkan
dengan batas waktu (ghayah), yaitu di al-lail (malam). Atas dasar ini,
terlarang melakukan puasa washal (puasa sepanjang hari).
Dari penjelasan sebelumnya diketahui bahwa perbedaan antara mutlaq dengan
muqayyad, bahwa mutlaq menunjuk kepada hakikat sesuatu tanpa ada suatu
keterangan yang mengikatnya dan tanpa memperhatikan satuan serta jumlah.
Misalnya, lafal raqabah yang terdepat dalam surat al-Mujadilah, 58:3 di atas
adalah bentuk mutlaq karena tidak diikuti sifat apapun. Jadi, ayat ini
memerintahkan memerdekakan budak dalam bentuk apapun, baik mukmin atau bukan
mukmin. Sementara muqayyad menunjuk kepada hakikat sesuatu, tetapi
mempertimbangkan beberapa hal, yaitu jumlah (kuantitas), sifat atau keadaan,
seperti pada contoh di atas.
Bentuk-bentuk Mutlaq dan Muqayyad
Kaidah lafazh mutlaq dan Muqayyad dapat dibagi dalam lima bentuk:
a. Suatu lafazh dipakai dengan mutlaq pada sauatu nash, sedangkan pada nash
lain digunakan dengan muqayyad; keadaan ithlaq dan taqyid-nya bergantung pada
sebab hukum.
b. Lafazh mutlaq dan muqayyad berlaku sama pada hukum dan sebabnya.
c. Lafazh mutlaq dan muqayyad yang berlaku pada nash itu berbeda, baik
dalam hukumnya ataupun sebab hukumnya.
d. Mutlaq muqayyad berbeda dalam hukumnya, sedangkan sebab hukumnya salam.
e. Mutlaq dan muqayyad sama dalam hukumnya, tetapi berbeda dalam sebabnya.
Hukum Lafazh Mutlaq dan Muqayyad
Pada prinsipnya para ulama sepakat bahwa hukum lafazh mutlaq itu wajib
diamlkan kemutlakannya, selama tidak ada dalik yang membatasi kemutlakannya.
Begitu juga hukum lafazh muqayyad itu berlaku pada kemuqayyadannya. Yang
menjadi persoalan di sini adalah mutlaq dan muqayyad yang terbentuk pada lima
bentuk tersebut, ada yang disepakati dan ada yang diperselisihkan. Yang
disepakati ialah:
Hukum dan sebabnya sama, di sini para ulama sepakat bahwa wajibnya membaawa
lafazh mutlaq kepada muqayyad.
Hukum dan sebabnya berbeda. Dalam hal ini, para ulama sepakat wajibnya
memberlakukan masing-masing lafazh, yakni mutlaq tetap pada kemutlakannya dan
muqayyad tetap pada kemuqayyadannya.
Hukumnya berbeda sedangkan sebabnya sama. Pada bentuk ini, para ulama
sepakat pula bahwa tidak boleh membawa lafazh mutlaq kepada muqayyad,
masing-masing tetap berlaku pada kemutlakannya dan kemuqayyadannya.
Hal-Hal yang Diperselisihkan dalam Mutlaq dan Muqayyad
Kemutlaqan dan kemuqayyadan terdapat pada sebab hukum. Namun, masalah
(mandu’) dan hukumnya sama. Menurut Jumhur Ulama dari kalangan Syafi’iyah,
Malikiyah, dan Hamafiyah, dalam masalah ini wajib membawa mutlaq kepada muqayyad.
Oleh sebab itu, mereka tidak mewajibkan zakat fitrah kepada hamba
sahayanya. Sedangkan ulama Hanafiyah tidak mewjibkan membawa lafazh mutlaq pada
muqayyad. Oleh sebab itu, ulama Hanafiyah mewajibkan zakat fitrah atas hamba
sahaya secara mutlaq.
Mutlaq dan muqayyad terdapat pada nash yang sama hukumnya, namun sebabnya
berbeda. Masalah ini juga diperselisihkan. Menurut Ulama Hanafiyah tidak boleh
membawa mutlaq pada muqayyad, melainkan masing-masingnya berlaku sesuai dengan
sifatnya. Oleh sebab itu, ulama Hanafiyah, pada kafarat zihar tidak
mensyaratkan hamba mukmin. Sebaliknya, menurut jumhur ulama, harus membawa
mutlaq kepada muqayyad secara mutlaq. Namun, menurut sebagian ulama Syafi’iyah,
mutlaq dibawa pada muqayyad apabila ada illaat hukum yang sama, yakni dengan
jalan qiyas. (Al-Amidi, 1968 : 11 : 112)
Alasan Masing-masing Golongan
v Alasan Hanafiyah
Merupakan suatu prisip bahwa kita melaksanakan adalah lafazh atas semua
hukum yang dibawa saja, sesuai dengan sifatnya, sehingga lafazh muthlaq tetap
pada kemuthlaqannya dan lafazh muqayyad tetap pada kemuqayyadannya. Tiap-tiap
nash merupakan hujjah yang berdiri sendiri. Pembatasan terhadap keluasan
makna yang terkandung pada mutlaq tanpa dalil dari lafazh itu sendiri berarti
mempersempit yang bukan dari perintah syara’. Berdasarkan pada ini, lafazh
muthlaq tidak bisa dibawa pada muqayyad, kecuali apabila terjadi saling
menafikan antara dua hukum, yakni sekiranya mengamalkan salah satunya membawa
pada tanaqud (saling bertentangan). (Al-Bazdawy, 1307, II:290)
v Alasan
Jumhur
Al-Qur’an itu merupakan kesatuan hukum yang utuh dan antara satu ayat
dengan ayat lainnya berkaitan, sehingga apabila ada suatu kata dalam Al-Qur’an
yang menjelaskan hukum berarti hukum itu sama pada setiap tempat yang terdapat
kata itu. (Asy-Syafi’i).
Alasan kedua, muqayyad itu harus menjadi dasar untuk menafikan dan
menjelaskan maksud lafazh mutlaq. Sebab mutlaq itu kedudukannya bisa dikatakan
sebagai orang dian, yang tidak menyebut qayyi. Di sini ia tidak menunjukkan adanya
qayyid, dan tidak pula menolaknya, sedangkan muqayyid sebagai orang yang
berbicara, yang menjelaskan adanya taqyid. Di sini tampak jelas adanya
kewajiban memakai qayyid ketika adanya dan menolaknya apabila tidak adanya.
Sehingga kedudukannya sebagai penafsir. Oleh sebab itu, ia lebih baik dijadikan
sebagai dasar untuk menjelaskan maksud mutlaq. (Al-Amidi, 1968, II :
112).(rachmat Syafi’I,2007.212)
KESIMPULAN
Ketetapan hukum Sar’iy yang sudah digariskan oleh Al Qur’an dan As Sunnah
harus dipahami dengan sungguh-sungguh, untuk melangkah kesana diperlukan
kemampuan mempuni bagi calon-calon Mujtahid agar tidak terjadi produk hukum
yang ngawur dan tidak bisa di pertanggung jawabkan dan diatas diterangkan
cara-cara yang digunakan adalah dengam memahami ayat yang ada dalam
alqur’an dan haditst.
Bahwasanya kita ketahui dalam penjelasan diatas ada beberapa macam lafaddan
dimana dari macam- macam lafadz tadi dapat diartikan menurut macam kriteria
lafadz itu, lafadz itu yakni amm, khas, mutlak, dan muqoyyad. Mempelajari
ilmu ushul fiqh, mendalami dan sekaligus menguasainya pemahaman lafadz diatas
adalah salah satu batu loncatan untuk menjadi pencetus hukum yang handal dan
diperhitungkan.
Sampai di sini semoga tulisan yang sangat sederhana dan penuh kekurangan
ini bisa dimanfa’atkan dan bila terdapat kekeliruan mohon dibetulkan.
No related posts.
http://kcpkiainws.wordpress.com/2009/06/05/lafadz-%E2%80%98am-dan-lafadz-khas/
Ia merupakan salah
satu istilah yang banyak disebut dalam al-Qur’an dan tergolong kedalam lafadz musytarak (memiliki
arti dan makna yang beragam) diantaranya lafadz itu disebutkan dalam surat
Al-Baqarah ayat 157;
أُولَـئِكَ
عَلَيْهِمْ صَلَوَاتٌ مِّن رَّبِّهِمْ وَرَحْمَةٌ وَأُولَـئِكَ هُمُ الْمُهْتَدُونَ
Mereka
itulah yang mendapat keberkatan yang sempurna dan rahmat dari
Tuhan mereka, dan mereka itulah orang-orang yang mendapat petunjuk.(Al-Baqarah
2:157)
DALAM ILMU USHUL FIQH
PENGERTIAN MANTUQ DAN MAFHUM
Mantuq adalah lafal yang hukumnya memuat apa yang diucapkan (makna
tersurat), dedang mafhum adalah lafal yang hukumnya terkandung dalam arti
dibalik manthuq (makna tersirat)
Menurut kitab mabadiulawwaliyah, mantuq adalah sesuatu yang
ditunjukkan oleh suatu lafadz dalam tempat pengucapan, sedangkan mafhum adalah
sesuatu yang ditunjukkan oleh suatu lafadz tidak dalam tempat pengucapan.
Jadi mantuq adalah pengertian yang ditunjukkan oleh lafadz di tempat pembicaraan
dan mafhum ialah pengertian yang ditunjukkan oleh suatu lafadz tidak dalam
tempat pembicaraan, tetapi dari pemahaman terdapat ucapan tersebut. Seperti
firman Allah SWT
Maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan
kepada keduanya perkataan “ah”
(Q.S Al-Isra’ ayat 23)
Dalam ayat tersebut terdapat pengertian mantuq dan mafhum, pengertian
mantuq yaitu ucapan lafadz itu sendiri (yang nyata = uffin) jangan kamu
katakan perkataan yang keji kepada kedua orang tuamu. Sedangkan mafhum yang
tidak disebutkan yaitu memukul dan menyiksanya (juga dilarang) karena
lafadz-lafadz yang mengandung kepada arti, diambil dari segi pembicaraan yang
nyata dinamakan mantuq dan tidak nyata disebut mafhum
PEMBAGIAN MANTUQ DAN MAFHUM
Pembagian Mantuq
Pada dasarnya mantuq ini terbagi menjadi dua bagian yaitu:
1) Nash, yaitu suatu perkataan yang jelas dan tidak mungkin di ta’wilkan
lagi, seperti firman Allah SWT
Maka wajib berpuasa tiga hari (Q.S Al-Baqarah ayat 106)
2) Zahir, yatiu suatu perkataan yang menunjukkan sesuatu makna, bukan yang
dimaksud dan menghendakinya kepada penta’wilan. Seperti firman Allah SWT
Dan tetap kekal Dzat Tuhanmu (Q.S Ar-Rahman ayat 27)
Wajah dalam ayat ini diartikan dengan zat, karena mustahil bagi tuhan
mempunyai wajah seperti manusia.
”dan langit yang kami bangun dengan tangan”
(Q.S. Adz-zariyat: 47)
Kalimat tangan ini diartikan dengan kekuasaan karena mustahil Allah
mempunyai tangan seperti manusia.
Pembagian Mafhum
Mafhum dibedakan menjadi dua bagian, yakni:
1. Mafhum Muwafaqah, yaitu apabila hukum yang dipahamkan sama dengan hukum
yang ditunjukkan oleh bunyi lafadz. Mafhum muwafaqah ini dibagi menjadi dua
bagian:
a) Fahwal Khitab
yaitu apabila yang dipahamkan lebih utama hukumnya daripada yang diucapkan.
Seperti memukul orang tua tidak boleh hukumnya, firman Allah SWT yang artinya:
jangan kamu katakan kata-kata yang keji kepada kedua orangtua. Kata-kata yang
keji saja tidak boleh apalagi memukulnya.
b) Lahnal Khitab
yaitu apabila yang tidak diucapkan sama hukumnya dengan diucapkan. Seperti
memakan (membakar) harta anak yatim tidak boleh berdasarkan firman Allah SWT:
Sesungguhnya orang-orang yang memakan harta
anak yatim secara zalim, Sebenarnya mereka itu menelan api sepenuh perutnya dan
mereka akan masuk ke dalam api yang menyala-nyala (neraka).
(Q.S An-Nisa ayat 10)
Membakar atau setiap cara yang menghabiskan harta anak yatim sama hukumnya
dengan memakan harta anak tersebut ang berarti dilarang (haram)
2. Mafhum Mukhalafah, yaitu pengertian yang dipahami berbeda daripada
ucapan, baik dalam istinbat (menetapkan) maupun Nafi (meniadakkan). Oleh sebab
hal itu yang diucapkan. Seperti firman Allah SWT:
apabila diseru untuk menunaikan shalat Jum’at,
Maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli
dari ayat ini dipahami bahwa boleh jual beli dihari Jum’at sebelum azan
dikumandangkan dan sesudah mengerjakan shalat Jum’at. Dalil Khitab ini
dinamakan juga mafhum mukhalafah.
Macam-macam mafhum mukhalafah
1. Mafhum Shifat
yaitu menghubungkan hukum sesuatu kepada syah satu sifatnya. Seperti firman
Allah SWT.
”Hendaklah bebaskan seorang budak (hamba sahaya) yang mukmin” (Q.S.
An-Nisa ayat 92)
2. Mafhum ’illat
yaitu menghubungkan hukum sesuatu menurut ’illatnya. Mengharamkan minuman
keras karena memabukkan.
3. Mafhum ’adat
yaitu memperhubungkan hukum sesuatu kepada bilangan tertentu. Firman Allah
SWT:
Dan orang-orang yang menuduh wanita-wanita yang
baik-baik (berbuat zina) dan mereka tidak mendatangkan empat orang saksi, Maka
deralah mereka (yang menuduh itu) delapan puluh kali dera, (Q.S. An-Nur ayat 4)
4. Mafhum ghayah
yaitu lafaz yang menunjukkan hukum sampai kepada ghayah (batasan,
hinggaan), hingga lafaz ghayah ini adakalnya ”ilaa” dan dengan ”hakta”. Seperti
firman Allah SWT.
apabila kamu hendak mengerjakan shalat, Maka basuhlah
mukamu dan tanganmu sampai dengan siku,
(Q.S Al-Maidah ayat 6)
Firman Allah SWT
dan janganlah kamu mendekati mereka, sebelum
mereka suci
(Q.S. Al-Baqarah ayat 222)
5. Mafhum had
yaitu menentukan hukum dengan disebutkan suatu ’adad diantara adat-adatnya.
Seperti firman Allah SWT.:
Katakanlah: “Tiadalah Aku peroleh dalam wahyu
yang diwahyukan kepadaku, sesuatu yang diharamkan bagi orang yang hendak
memakannya, kecuali kalau makanan itu bangkai, atau darah yang mengalir atau
daging babi – Karena Sesungguhnya semua itu kotor – atau binatang yang
disembelih atas nama selain Allah.
6. Mafhum Laqaab
yaitu menggantungkan hukum kepada isim alam atau isim fa’il, seperti sabda
Nabi SAW
SYARAT-SAYRAT MAFHUM MUKHALAFAH
syarat-syaraf mafhum Mukhalafah, adalah seperti
yang dimukakan oleh A.Hanafie dalam bukunya Ushul Fiqhi, sebagai berikut:
Untuk syahnya mafhum mukhalafah, diperlukan empat syarat:
1. Mafhum mukhalafah tidak berlawanan dengan dalil yang lebih kuat, baik
dalil mantuq maupun mafhum muwafaqah. Contoh yang berlawanan dengan dalil
mantuq:
“Jangan kamu bunuh
anak-anakmu karena takut kemiskinan”
(Q. S Isra’ ayat 31).
Mafhumnya, kalau bukan karena takut kemiskinan dibunuh, tetapi mafhum
mukhalafah ini berlawanan dengan dalil manthuq, ialah:
“Jangan kamu membunuh
manusia yang dilarang Allah kecuali
dengan kebenaran (Q.S Isra’ ayat 33)”
Contoh yang berlawanan dengan mafhum muwafaqah:
“Janganlah engkau
mengeluarkan kata yang kasar kepada orang tua, dan jangan pula engkau hardik
(Q.S Isra’ ayat 23).
Yang disebutkan, hanya kata-kata yang kasar mafhum mukhalafahnya boleh
memukuli. Tetapi mafhum ini berlawanan dengan mafhum muwafaqahnya, yaitu tidak
boleh memukuli.
2. Yang disebutkan (manthuq) bukan suatu hal yang biasanya terjadi.
Contoh:
“Dan anak tirimu yang ada dalam pemeliharaanmu”
(Q.S An-Nisa’ ayat 23).
Dan perkataan “yang ada dalam pemeliharaanmu” tidak boleh dipahamkan bahwa
yang tidak ada dalam pemeliharaanmu boleh dikawini. Perkataan itu disebutkan,
sebab memang biasanya anak tiri dipelihara ayah tiri karena mengikuti ibunya.
3. Yang disebutkan (manthuq) bukan dimaksudkan untuk menguatkan sesuatu
keadaan.
Contoh:
“Orang Islam ialah orang yang tidak mengganggu
orang-orang Islam lainnya, baik dengan tangan ataupun dengan lisannya
(Hadits)”.
Dengan perkataan “orang-orang Islam (Muslimin) tidak dipahamkan bahwa
orang-orang yang bukan Islam boleh diganggu. Sebab dengan perkataan tersebut
dimaksudkan, alangkah pentingnya hidup rukun dan damai di antara orang-orang
Islam sendiri.
4. Yang disebutkan (manthuq) harus berdiri sendiri, tidak mengikuti kepada
yang lain.
Contoh:
“Janganlah kamu campuri mereka
(isteri-isterimu) padahal kamu sedang beritikaf di mesjid (Q.S Al-Baqarah ayat 187)”.
Tidak dapat dipahamkan, kalau tidak beritikaf dimasjid, boleh mencampuri
Tidak ada komentar:
Posting Komentar