
Nikah Mut’ah dalam Islam…
|
Kamis, 08 Juli 2010 11:08
|
Assalamu’alaikum Wr. Wb.
Saya
ingin menanyakan tentang nikah mut’ah dalam Islam. Saya janda dengan dua
orang anak yang ditinggal suami karena kematian. Saat ini saya menjalani
pernikahan mut’ah dengan seorang laki-laki sudah dua tahun lamanya. Kami
menikah dengan alasan tidak mau tidak dijalan Allah, saat kami menikah tidak
ada siapapun yang tahu tentang pernikahan kami. Waktu terus berlanjut, tapi
setiap saya menanyakannya tentang kapan pastinya pernikahan yang sesungguhnya
akan dijalankan, pasangan saya selalu bicara dua tahun lagi. Saya mendesak
banget kare keluarga juga sudah bertanya dan saya memikirkan perkembangan
anak-anak saya nanti. Dia menunda pernikahan yang sebenarnya dengan alas an
ada hal-hal yang harus dia buktikan dahulu (pekerjaan) kepada keluarganya.
Padahal anak-anak saya sudah merasa bahwa dia adalah bapak mereka dan saya
meyakini kalau rezeki tidak akan ke mana. Terus terang pengetahuan saya tentang
aturan pernikahan memang tidak banyak, malah dahulu dia yang menyarankan
untuk dilakukannya nikah mut’ah antara kami. Yang menjadi pertanyaan saya
adalah:
1. Apa
dan bagaimana aturan/hadis tentang nikah mut’ah dalam Islam?
2. Sampai
kapan nikah mut’ah itu berlaku?
3. Apa
yang bisa saya jadikan alas an kuat kepada pasangan agar dapat segera
melangsungkan pernikahan sesungguhnya?
Demikian, dan terimakasih atas bimbingannya
Wassalam,
Khadijah.
Alhamdulillah, was-shalatu
was-salamu ‘ala rasulillah, la haula wala quwwata illa billah, waba’du.
Ibu Khadijah yang budiman, Saya mengapresiasi usaha
ibu yang selalu mencari kebenaran, termasuk dalam hal status perkawinan ibu.
Perlu diketahui, bahwa kebenaran menurut ajaran Islam adalah jika sesuai
dengan firman Allah SWT dalam al-Quran al-karim dan sesuai dengan petunjuk
Rasulullah SAW dalam sunnahnya, sebagaimana dinyatakan dalam sebuah hadis
yang artinya :
“Aku tinggalkan kepada kalian dua hal yang kalian tidak
akan tersesat jika berpegang teguh kepada keduanya: kitab Allah (al-quran)
dan sunnah rasulNya” .
Dari
hadis tersebut dapat diketahui bahwa ajaran yang tidak sesuai dengan
kitabullah dan sunnah rasulNya adalah ajaran yang tersesat jalan, termasuk
dalam hal pernikahan.
Dalam
ajaran Islam, maksud utama dari pernikahan itu selain sebagai ibadah adalah
untuk membangun ikatan keluarga yang langgeng (mitsaqan ghalidzha) yang dipenuhi dengan sinar kedamaian (sakinah), saling cinta (mawaddah),
dan saling kasih-sayang (rahmah). Dengan begitu, ikatan pernikahan yang tidak ditujukan
untuk membangun rumah tangga secara langgeng, tidaklah sesuai dengan tujuan
ajaran Islam.
Di
samping itu, jika kita tengok sejarah awal Islam, di mana ketika itu
masyarakat jahiliyah tidak memberikan kepada wanita hak-haknya sebagaimana
mestinya karena wanita ketika itu lebih dianggap sebagai barang yang bisa
ditukar seenaknya, dapat kita ketahui betapa ajaran Islam menginginkan agar
para wanita dapat diberikan hak-haknya sebagaimana mestinya. Oleh karenanya,
dengan syariat nikah menurut Islam ini, ajaran Islam ingin melindungi para
wanita untuk mendapatkan hak-haknya. Para wanita tidak dapat dipertukarkan
lagi sebagaimana zaman jahiliyah. Para wanita selain harus menjalankan
kewajibannya sebagai istri, juga mempunyai hak untuk diperlakukan secara baik
(mu’asyarah
bil ma’ruf), dan ketika suami meninggal ia
juga dapat bagian dari harta warisan.
Demikian
tujuan nikah menurut ajaran Islam. Sedangkan nikah mut’ah adalah nikah
kontrak dalam jangka waktu tertentu, sehingga apabila waktunya telah habis maka
dengan sendirinya nikah tersebut bubar tanpa adanya talak. Dalam nikah mut’ah
si wanita yang menjadi istri juga tidak mempunyai hak waris jika si suami
meninggal. Dengan begitu, tujuan nikah mut’ah ini tidak sesuai dengan tujuan
nikah menurut ajaran Islam sebagaimana disebutkan di atas, dan dalam nikah
mut’ah ini pihak wanita teramat sangat dirugikan. Oleh karenanya nikah mut’ah
ini dilarang oleh Islam.
Dalam
hal ini syaikh al-Bakri dalam kitabnya I’anah at-Thalibin
menyatakan yang artinya:
“Kesimpulannya, nikah mut’ah ini haram hukumnya. Nikah ini
disebut nikah mut’ah karena tujuannya adalah untuk mencari kesenangan belaka,
tidak untuk membangun rumah tangga yang melahirkan anak dan juga saling
mewarisi, yang keduanya merupakan tujuan utama dari ikatan pernikahan dan
menimbulkan konsekwensi langgengnya pernikahan”.
Memang
benar bahwa nikah mut’ah ini pernah dibolehkan ketika awal Islam, tapi
kemudian diharamkan, sebagaimana dinyatakan oleh al-Imam an-Nawawi dalam
kitabnya Syarh
Shahih Muslim yang artinya:
“yang benar dalam masalah nikah mut’ah ini adalah bahwa
pernah dibolehkan dan kemudian diharamkan sebanyak dua kali; yakni dibolehkan
sebelum perang Khaibar, tapi kemudian diharamkan ketika perang Khaibar.
Kemudian dibolehkan selama tiga hari ketika fathu Makkah, atau hari perang
Authas, kemudian setelah itu diharamkan untuk selamanya sampai hari kiamat”.
Alasan
kenapa ketika itu dibolehkan melaksanakan nikah mut’ah, karena ketika itu
dalam keadaan perang yang jauh dari istri, sehingga para sahabat yang ikut
perang merasa sangat berat. Dan lagi pada masa itu masih dalam masa peralihan
dari kebiasaan zaman jahiliyah. Jadi wajar jika Allah memberikan keringanan (rukhshah) bagi para sahabat ketika itu.
Ada
pendapat yang membolehkan nikah mut’ah ini berdasarkan fatwa sahabat Ibnu
Abbas r.a., padahal fatwa tersebut telah direvisi oleh Ibnu Abbas sendiri,
sebagaimana disebutkan dalam kitab fiqh as-sunnah
yang artinya:
Diriwayatkan dari beberapa sahabat dan beberapa tabi’in
bahwa nikah mut’ah hukumnya boleh, dan yang paling populer pendapat ini
dinisbahkan kepada sahabat Ibnu Abbas r.a., dan dalam kitab Tahzhib as-Sunan
dikatakan: sedangkan Ibnu Abbas membolehkan nikah mut’ah ini tidaklah secara
mutlak, akan tetapi hanya ketika dalam keadaan dharurat. Akan tetapi ketika
banyak yang melakukannya dengan tanpa mempertimbangkan kedharuratannya, maka
ia merefisi pendapatnya tersebut. Ia berkata: “inna lillahi wainna ilaihi
raji’un, demi Allah saya tidak memfatwakan seperti itu (hanya untuk
kesenangan belaka), tidak seperti itu yang saya inginkan. Saya tidak
menghalalkan nikah mut’ah kecuali ketika dalam keadaan dharurat, sebagaimana
halalnya bangkai, darah dan daging babi ketika dalam keadaan dharurat, yang
asalnya tidak halal kecuali bagi orang yang kepepet dalam keadaan dharurat.
Nikah mut’ah itu sama seperti bangkai, darah, dan daging babi, yang awalnya
haram hukumnya, tapi ketika dalam keadaan dharurat maka hukumnya menjadi
boleh”
Namun
demikian, pendapat yang menghalalkan nikah mut’ah tersebut tidaklah kuat
untuk dijadikan dasar hukum. Sedangkan pendapat yang mengharamkannya dasar
hukumnya sangat kuat, sebab dilandaskan di atas hadis shahih yang artinya :
“Diriwayatkan bahwa sahabat Ali r.a. berkata: Rasulullah s.a.w.
melarang nikah mut’ah ketika perang Khaibar” Hadis dianggap shahih oleh imam Bukhari dan Muslim.
Hadis
lain menyatakan:
“Diriwayatkan bahwa sahabat Salamah bin al-Akwa’ r.a.
berkata: Rasulullah s.a.w. memperbolehkan nikah mut’ah selama tiga hari pada
tahun Authas (ketika ditundukkannya Makkah, fathu Makkah) kemudian (setelah
itu) melarangnya” HR. Muslim.
Di
hadis lain disebutkan:
“Diriwayatkan dari Rabi’ bin Sabrah r.a. sesungguhnya
rasulullah s.a.w. bersabda: “wahai sekalian manusia, sesungguhnya aku pernah
mengizinkan nikah mut’ah, dan sesungguhnya Allah telah mengharamkannya sampai
hari kiamat, oleh karenanya barangsiapa yang masih mempunyai ikatan mut’ah
maka segera lepaskanlah, dan jangan kalian ambil apa yang telah kalian
berikan kepada wanita yang kalian mut’ah”
HR. Muslim, Abu Dawud, an-Nasai, Ibnu Majah, Ahmad, dan Ibnu Hibban.
Hadis-hadis
tersebut cukup kuat untuk dijadikan pijakan menetapkan hukum haram bagi nikah
mut’ah, dan sangat terang benderang menjelaskan bahwa Islam melarang nikah
mut’ah. Oleh karena itu, jika saat ini ada yang melaksanakan nikah mut’ah
maka ia telah dianggap melanggar ajaran Islam dan secara otomatis nikahnya
tersebut batal, sebagaimana disebutkan oleh al-Imam an-Nawawi dalam Syarh Shahih Muslim:
“Para ulama sepakat (ijma’) bahwa jika saat ini ada yang
melaksanakan nikah mut’ah maka hukumnya tidak sah (batal), baik sebelum atau
sesudah dilakukan hubungan badan”
Dari
penjelasan tersebut, dapat disimpulkan bahwa nikah mut’ah pernah dibolehkan
ketika zaman Rasul s.a.w. masih hidup, tapi kemudian diharamkan oleh
rasulullah s.a.w. sampai hari kiamat. Jika ada yang melaksanakan nikah mut’ah
pada masa sekarang, maka nikah mut’ah tersebut hukumnya batal.
Dengan
begitu, kiranya pertanyaan ibu sudah terjawab semuanya. Sebenarnya melalui
pertanyaan yang ibu ajukan, saya menangkap kesan bahwa ibu sudah tidak yakin
dengan sahnya nikah mut’ah yang ibu lakukan. Berkali-kali ibu menyebutkan
ingin “nikah sesungguhnya”. Apalagi pernikahan ibu dilakukan “dengan tanpa
diketahui siapapun”. Sedangkan dalam Islam pernikahan selain harus ada wali
juga harus ada yang menjadi saksi, sehingga tetap harus ada orang yang
menyaksikan. Selain itu, ajaran Islam juga sangat menganjurkan adanya walimah (semacam pesta). Tujuannya, agar semakin banyak orang
yang menjadi saksi bahwa kedua orang tersebut telah menjalin ikatan
pernikahan. Saksi ini penting, karena setelah akad nikah selesai kedua
mempelai, yakni suami dan istri, saling mempunyai hak-hak perdata, misalnya
dalam hal warisan. Jika ada sengketa di kemudian hari, misalnya, maka
kedudukan istri untuk menuntut haknya akan semakin kuat, karena ada banyak
saksi. Ketentuan ini tentu tidak berlaku terhadap nikah mut’ah, karena dalam
nikah mut’ah ketika jangka waktu pernikahan telah habis, maka tanpa talakpun
secara otomatis tidak ada lagi hubungan antara kedua orang tersebut. Dan
jangan lupa, dalam nikah mut’ah istri tidak berhak mendapat warisan dari
suami, ketika, misalnya, suaminya tersebut meninggal. Tegasnya, dengan nikah
mut’ah, para wanita yang menjadi istri kedudukannya sangatlah lemah. Oleh
karenanya Islam melarang nikah mut’ah tersebut.
Apabila
kita renungkan dengan hati yang jernih, betapa ajaran Islam itu sangat indah,
jika dilaksanakan dengan tulus ikhlas, sesuai dengan kehendak Allah SWT.
Sekarang tinggal kemauan dan kesungguhan dari kita, umat manusia, untuk
tunduk dan mematuhi sabda rasulullah s.a.w. tersebut. Kemuliaan di sisi Allah
SWT adalah bagi orang yang rela mendahulukan dan tunduk kepada
aturan-aturanNya sebagaimana disampaikan oleh utusanNya. Oleh karenanya, saya
menyarankan kepada ibu, selagi masih ada kesempatan segeralah menyatakan
penyesalan secara bersungguh-sungguh dengan bertaubat, dan mulailah dengan
ikatan pernikahan yang diridhai oleh Allah SWT. Yakinlah, bahwa ampunan Allah
itu maha luas, dan tetapkan hati bahwa Allah ‘azza wajalla akan senantiasa bersama orang yang tunduk terhadap
aturan-aturanNya.Wallahu
a’lam bi as-shawab (Oleh Drs. H.
Sholahudin al Aiyub, M.Sc)
|
Menu
Utama
Majalah
MUI


Ketua
Umum MUI
Lembaga
MUI
Kegiatan
MUI
Resensi
Buku

Konsultasi
Agama
Hukum Wanita Haid Membaca Al-Quran?
Assalamualaikum Wr. Wb.
Pengelola konsultasi agama yang saya
hormati, ijinkan saya mengajukan beberapa pertanyaan berikut: pertama, apa
hukum wanita yang sedang haid/nifas membaca al-Quran?
Artikel
List
- Idul Fitri Madzhab Negara
- Memaksimalkan Fungsi Agama Moderat
- Paham Menyimpang Di Indonesia, Kaitannya
Dengan Pendekatan Dan Pemikiran Umat Di Rantau
- Beberapa Catatan Atas Makalah Utama
- Kembalilah ke Ekonomi Pancasila
- Hijrah Sebagai Strategi Dakwah
UNTUK TAMPILAN TERBAIK GUNAKAN
BROWSER MOZILLA FIREFOX, KELUAR DARI INTERNET EXPLORER = Sekretariat MUI, Jl.
Proklamasi No.51 Menteng Jakarta Pusat Telp.021-31902666, Fax.021-31905266
Tidak ada komentar:
Posting Komentar