MACAM
– MACAM PENDEKATAN PEMBELAJARAN
Ada beberapa macam pendekatan
pembelajaran yang digunakan pada kegiatan belajar mengajar, antara lain :
Pendekatan
Kontekstual
Pendekatan
konstekstual berlatar belakang bahwa siswa belajar lebih bermakna dengan
melalui kegiatan mengalami sendiri dalam lingkungan alamiah, tidak hanya
sekedar mengetahui, mengingat, dan memahami. Pembelajaran tidak hanya berorientasi
target penguasaan materi, yang akan gagal dalam membekali siswa untuk
memecahkan masalah dalam kehidupannya. Dengan demikian proses pembelajaran
lebih diutamakan daripada hasil belajar, sehingga guru dituntut untuk
merencanakan strategi pembelajaran yang variatif dengan prinsip membelajarkan –
memberdayakan siswa, bukan mengajar siswa(http://smacepiring.wordpress.com/2008/02/19/pendekatan-dan-metode-pembelajaran/).
Borko dan
Putnam mengemukakan bahwa dalam pembelajaran kontekstual,guru memilih konteks
pembelajaran yang tepat bagi siswa dengan cara mengaitkan pembelajaran dengan
kehidupan nyata dan lingkungan di mana anak hidup dan berada serta dengan
budaya yang berlaku dalam masyarakatnya (http.//www.contextual.org.id).
Pemahaman, penyajian ilmu pengetahuan, keterampilan, nilai dan sikap yang ada
dalam materi dikaitkan dengan apa yang dipelajari dalam kelas dan dengan
kehidupan sehari-hari (Dirjen Dikdasmen, 2001: 8). Dengan memilih konteks
secara tepat, maka siswa dapat diarahkan kepada pemikiranagar tidak hanya
berkonsentrasi dalam pembelajaran di lingkungan kelas saja, tetapi diajak untuk
mengaitkan aspek-aspek yang benar-benar terjadi dalam kehidupan mereka
sehari-hari, masa depan mereka, dan lingkungan masyarakat luas.
Dalam kelas
kontekstual, tugas guru adalah membantu siswa dalam mencapai tujuannya. Guru
lebih banyak berurusan dengan strategi daripada memberi informasi.Guru bertugas
mengelola kelas sebagai sebuah tim yang bekerja bersama untuk merumuskan,
menemukan sesuatu yang baru bagi kelas yang dapat berupa pengetahuan,
keterampilan dari hasil “menemukan sendiri” dan bukan dari “apa kata guru.
Penggunaan
pembelajaran kontekstual memiliki potensi tidak hanya untuk mengembangkan ranah
pengetahuan dan keterampilan proses, tetapi juga untuk mengembangkan sikap,
nilai, serta kreativitas siswa dalam memecahkan masalah yang terkait dengan
kehidupan mereka sehari-hari melalui interaksi dengan sesama teman, misalnya
melalui pembelajaran kooperatif, sehingga juga mengembangkan ketrampilan sosial
(social skills) (Dirjen Dikmenum, 2002:6). Lebih lanjut Schaible,Klopher,
dan Raghven, dalam Joyce-Well (2000:172) menyatakan bahwa pendekatan
kontekstual melibatkan siswa dalam masalah yang sebenarnya dalam penelitian
dengan menghadapkan anak didik pada bidang penelitian, membantu mereka
mengidentifikasi masalah yang konseptual atau metodologis dalam bidang
penelitian dan mengajak mereka untuk merancang cara dalam mengatasi masalah.
Pendekatan
Konstruktivisme
Kontruktivisme
merupakan landasan berfikir pendekatan kontekstual. Yaitu bahwa pendekatan
dibangun oleh manusia sedikit demi sedikit yang hasilnya diperluas melalui
konteks yang terbatas dan tidak dengan tiba-tiba(Suwarna,2005). Piaget (1970),
Brunner dan Brand 1966), Dewey (1938) dan Ausubel (1963). Menurut Caprio (1994),
McBrien Brandt (1997), dan Nik Aziz (1999)
kelebihan teori konstruktivisme ialah pelajar berpeluang membina
pengetahuan secara aktif melalui proses saling pengaruh antara pembelajaran
terdahulu dengan pembelajaran terbaru. Pembelajaran terdahulu dikaitkan dengan
pembelajaran terbaru. Perkaitan ini dibina sendiri oleh pelajar.
Menurut teori
konstruktivisme, konsep-konsep yang dibina pada struktur kognitif seorang akan
berkembang dan berubah apabila ia mendapat pengetahuan atau pengalaman baru.
Rumelhart dan Norman (1978) menjelaskan seseorang akan dapat membina konsep
dalam struktur kognitifnya dengan menghubungkan pengetahuan baru dengan
pengetahuan yang sedia ada padanya dan proses ini dikenali sebagai accretion.
Selain itu, konsep-konsep yang ada pada seseorang boleh berubah selaras
dengan pengalaman baru yang dialaminya dan ini dikenali sebagai penalaan atau tuning.
Seseorang juga boleh membina konsep-konsep dalam struktur kognitifnya
dengan menggunakan analogi, iaitu berdasarkan pengetahuan yang ada padanya.
Menurut Gagne, Yekovich, dan Yekovich (1993) konsep baru juga boleh dibina
dengan menggabungkan konsep-konsep yang sedia ada pada seseorang dan ini
dikenali sebagai parcing.
Pendekatan
konstruktivisme sangat penting dalam proses pembelajaran kerana belajar
digalakkan membina konsep sendiri dengan menghubungkaitkan perkara yang
dipelajari dengan pengetahuan yang sedia ada pada mereka. Dalam proses ini,
pelajar dapat meningkatkan pemahaman mereka tentang sesuatu perkara. Kajian
Sharan dan Sachar (1992, disebut dalam Sushkin, 1999) membuktikan kumpulan
pelajar yang diajar menggunakan pendekatan konstruktivisme telah mendapat
pencapaian yang lebih tinggi dan signifikan berbanding kumpulan pelajar yang
diajar menggunakan pendekatan tradisional. Kajian Caprio (1994), Nor Aini
(2002), Van Drie dan Van Boxtel (2003), Curtis (1998), dan Lieu (1997) turut
membuktikan bahawa pendekatan konstruktivisme dapat membantu pelajar untuk
mendapatkan pemahaman dan pencapaian yang lebih tinggi dan signifikan.
Pendekatan
Deduktif – Induktif
Pendekatan
Deduktif
Pendekatan
deduktif ditandai dengan pemaparan konsep, definisi dan istilah-istilah pada
bagian awal pembelajaran. Pendekatan deduktif dilandasi oleh suatu pemikiran
bahwa proses pembelajaran akan berlangsung dengan baik bila siswa telah
mengetahui wilayah persoalannya dan konsep dasarnya(Suwarna,2005).
Pendekatan
Induktif
Ciri uatama
pendekatan induktif dalam pengolahan informasi adalah menggunakan data untuk
membangun konsep atau untuk memperoleh pengertian. Data yang digunakan mungkin
merupakan data primer atau dapat pula berupa kasus-kasus nyata yang terjadi
dilingkungan.
Prince dan
Felder (2006) menyatakan pembelajaran tradisional adalah pembelajaran dengan
pendekatan deduktif, memulai dengan teori-teori dan meningkat ke penerapan
teori. Di bidang sain dan teknik dijumpai upaya mencoba pembelajaran dan topik
baru yang menyajikan kerangka pengetahuan, menyajikan teori-teori dan rumus
dengan sedikit memperhatikan pengetahuan utama mahasiswa, dan kurang atau tidak
mengkaitkan dengan pengalaman mereka. Pembelajaran dengan pendekatan deduktif
menekankan pada guru mentransfer informasi atau pengetahuan. Bransford (dalam
Prince dan Felder, 2006) melakukan penelitian dibidang psikologi dan neurologi.
Temuannya adalah: ”All new learning involves transfer of information based on
previous learning”, artinya semua pembelajaran baru melibatkan transfer
informasi berbasis pembelajaran sebelumnya.
Major (2006)
menyatakan dalam pembelajaran dengan pendekatan deduktif dimulai dengan
menyajikan generalisasi atau konsep. Dikembangkan melalui kekuatan argumen
logika. Contoh urutan pembelajaran: (1) definisi disampaikan; dan (2) memberi
contoh, dan beberapa tugas mirip contoh dikerjakan siswa dengan maksud untuk
menguji pemahaman siswa tentang definisi yang disampaikan.
Alternatif
pendekatan pembelajaran lainnya selain dengan pembelajaran pendekatan deduktif
adalah dengan pendekatan induktif . Beberapa contoh pembelajaran dengan
pendekatan induktif misalnya pembelajaran inkuiri, pembelajaran berbasis
masalah, pembelajaran berbasis proyek, pembelajaran berbasis kasus, dan
pembelajaran penemuan. Pembelajaran dengan pendekatan induktif dimulai dengan
melakukan pengamati terhadap hal-hal khusus dan menginterpretasikannya,
menganalisis kasus, atau memberi masalah konstekstual, siswa dibimbing memahami
konsep, aturan-aturan, dan prosedur-prosedur berdasar pengamatan siswa sendiri.
Major (2006)
berpendapat bahwa pembelajaran dengan pendekatan induktif efektif untuk
mengajarkan konsep atau generalisasi. Pembelajaran diawali dengan memberikan
contoh-contoh atau kasus khusus menuju konsep atau generalisasi. Siswa
melakukan sejumlah pengamatan yang kemudian membangun dalam suatu konsep atau
geralisasi. Siswa tidak harus memiliki pengetahuan utama berupa abstraksi,
tetapi sampai pada abstraksi tersebut setelah mengamati dan menganalisis apa
yang diamati.
Dalam fase
pendekatan induktif-deduktif ini siswa diminta memecahkan soal atau masalah.
Kemp (1994: 90) menyatakan ada dua kategori yang dapat dipakai dalam membahas
materi pembelajaran yaitu metode induktif dan deduktif. Pada prinsipnya
matematika bersifat deduktif. Matematika sebagai “ilmu” hanya diterima pola
pikir deduktif. Pola pikir deduktif secara sederhana dapat dikatakan pemikiran
“yang berpangkal dari hal yang bersifat umum diterapkan atau diarahkan kepada
hal yang bersifat khusus” Soedjadi (2000: 16). Dalam kegiatan memecahkan
masalah siswa dapat terlibat berpikir dengan dengan menggunakan pola pikir
induktif, pola pikir deduktif, atau keduanya digunakan secara bergantian.
Pendekatan
Konsep dan Proses
Pendekatan
Konsep
Pembelajaran
dengan menggunakan pendekatan konsep berarti siswa dibimbing memahami suatu
bahasan melalui pemahaman konsep yang terkandung di dalamnya. Dalam proses
pembelajaran tersebut penguasaan konsep dan subkonsep yang menjadi fokus.
Dengan beberapa metode siswa dibimbing untuk memahami konsep. (http://smacepiring.wordpress.com/2008/02/19/pendekatan-dan-metode-pembelajaran/).
Pendekatan
Proses
Pada
pendekatan proses, tujuan utama pembelajaran adalah mengembangkan kemampuan
siswa dalam keterampilan proses seperti mengamati, berhipotesa, merencanakan,
menafsirkan, dan mengkomunikasikan. Pendekatan keterampilan proses digunakan
dan dikembangkan sejak kurikulum 1984. Penggunaan pendekatan proses menuntut
keterlibatan langsung siswa dalam kegiatan belajar. (http://smacepiring.wordpress.com/2008/02/19/pendekatan-dan-metode-pembelajaran/).
Dalam
pendekatan proses, ada dua hal mendasar yang harus selalu dipegang pada setiap
proses yang berlangsung dalam pendidikan. Pertama, prosesmengalami. Pendidikan
harus sungguh menjadi suatu pengalaman pribadi bagipeserta didik. Dengan proses
mengalami, maka pendidikan akan menjadi bagianintegral dari diri peserta didik;
bukan lagi potongan-potongan pengalamanyang disodorkan untuk diterima, yang sebenarnya
bukan miliknya sendiri.Dengan demikian, pendidikan mengejawantahdalam diri
peserta didik dalamsetiap proses pendidikan yang dialaminya (http://groups.yahoo.com/group/sd-islam/message/1907).Pendekatan
Sains, Tekhnologi dan Masyarakat
National
Science Teachers Association (NSTA) (1990 :1)memandang STM sebagai the
teaching and learning of science in thecontext of human experience. STM
dipandang sebagai proses pembelajaran yang senantiasa sesuai dengan konteks
pengalaman manusia. Dalam pendekatan ini siswa diajak untuk meningkatakan
kreativitas,
sikap ilmiah, menggunakan konsep dan proses sains dalam kehidupan
sehari-hari.Definisi lain tentang STM dikemukakan oleh PENN STATE(2006:1)
bahwa STM merupakan an interdisciplinary approach whichreflects the
widespread realization that in order to meet the increasingdemands of a
technical society, education must integrate acrossdisciplines. Dengan
demikian, pembelajaran dengan pendekatan STMharuslah diselenggarakan dengan
cara mengintegrasikan berbagaidisiplin (ilmu) dalam rangka memahami berbagai
hubungan yangterjadi di antara sains, teknologi dan masyarakat. Hal ini berarti
bahwa pemahaman kita terhadap hubungan antara sistem politik, tradisi
masyarakat dan bagaimana pengaruh sains dan teknologi terhadap
hubungan-hubungan tersebut menjadi bagian yang penting dalampengembangan
pembelajaran di era sekarang ini.
Pandangan
tersebut senada dengan pendapat NC State University (2006: 1), bahwa STM
merupakan an interdisciplinery field of study that seeks to explore a
understand the many ways that scinence and technology shape culture, values,
and institution, and how such factors shape science and technology. STM
dengandemikian adalah sebuah pendekatan yang dimaksudkan untuk mengetahui
bagaimana sains dan teknologi masuk dan merubah proses-proses sosial di
masyarakat, dan bagaimana situasi sosial mempengaruhi perkembangan sains
dan teknologi.
Hasil
penelitian dari National Science Teacher Association ( NSTA ) ( dalam
Poedjiadi, 2000 ) menunjukan bahwa pembelajaran sains dengan menggunakan
pendekatan STM mempunyai beberapa perbedaan jika dibandingkan dengan cara
biasa. Perbedaan tersebut ada pada aspek : kaitan dan aplikasi bahan pelajaran,
kreativitas, sikap, proses, dan konsep pengetahuan. Melalui pendekatan STM ini
guru dianggap sebagai fasilitator dan informasi yang diterima siswa akan lebih
lama diingat. Sebenarnya dalam pembelajaran dengan menggunakan pendekatan STM
ini tercakup juga adanya pemecahan masalah, tetapi masalah itu lebih ditekankan
pada masalah yang ditemukan sehari – hari, yang dalam pemecahannya menggunakan
langkah – langkah
(ilmiahhttp://smacepiring.wordpress.com/2008/02/19/pendekatan-dan-metode-pembelajaran/).
(http.//www.contextual.org.id)
1.Pendekatan Konsep dan Proses
1.Pendekatan konsepTerlebih dahulu harus kita
ingat bahwa istilah concept (konsep) mempunyai beberapa arti. Namun dalam hal
ini kita khususkan pada pembahasan yang berkaitan dengan kegiatan
belajar-mengajar. Suatu saat seseorang dapat belajar mengenal kesimpulan
benda-benda dengan jalan membedakannya satu sama lain. Jalan lain yang dapat
ditempuh adalah memasukkan suatu benda ke dalam suatu kelompok tertentu dan
mengemukakan beberapa contoh dan kelompok itu yang dinyatakan sebagai jenis kelompok
tersebut. Jalan yang kedua inilah yang memungkinkan seseorang mengenal suatu
benda atau peristiwa sebagai suatu anggota kelompok tertentu, akibat dan suatu
hasil belajar yana dinamakan konsep.Kita harus memperhatikan pengertian yang
paling mendasar dari istilah konsep, yang ditunjukkan melalui tingkah laku
individu dalam mengemukakan sifat-sifat suatu obyek seperti: bundar, merah,
halus, rangkap, atau obyek-obyek yang kita kenal seperti rambut, kucing, pohon
dan rumah. Semuanya itu menunjukkan pada suatu konsep yang nyata (concrete
concept). Gagne mengatakan bahwa selain konsep konkret yang bisa kita pelajari
melalui pengamatan, mungkin juga ditunjukkan melalui definisi atau batasan,
karena merupakan sesuatu yang abstrak. Misalnya: iklim, massa, bahasa atau
konsep matematis. Bila seseorang telah mengenal suatu konsep, maka konsep yang
telah diperoleh tersebut dapat digunakan untuk mengorganisasikan gejala-gejala
yang ada di dalam kehidupan. Proses menghubung-hubungkan dan mengorganisasikan
konsep yang satu dengan yang lain dilakukan melalui kemampuan kognitif.
1.Pendekatan proses Pada pendekatan proses, tujuan utama
pembelajaran adalah mengembangkan kemampuan siswa dalam keterampilan proses
seperti mengamati, berhipotesa, merencanakan, menafsirkan, dan
mengkomunikasikan. Pendekatan keterampilan proses digunakan dan dikembangkan
sejak kurikulum 1984. Penggunaan pendekatan proses menuntut keterlibatan
langsung siswa dalam kegiatan belajar
PEMBELAJARAN PENDIDIKAN
AGAMA ISLAMMELALUI PENDEKATAN KONTEKSTUAL (Alternatif Model Pengembangan
Pembelajaran PAI di Sekolah)
Posted by deni saepul
hayat under Pendidikan Leave a Comment
A.
Pendahuluan
Rumusan tujuan
pendidikan nasional dalam Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentangSistem
Pendidikan Nasional menyatakan bahwa pendidikan nasional berfungsi
untuk mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa
yang bermartabatdalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk
mengembangkan potensi pesertadidik agar menjadi manusia yang beriman dan
bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu,
cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga negara yangdemokratis serta
bertanggung jawab.Salah salah satu ciri manusia berkualitas dalam rumusan UU
No. 20 Tahun 2003 di atas adalahmereka yang tangguh iman dan takwanya serta
memiliki akhlak mulia. Dengan demikian salahsatu ciri kompetensi keluaran
pendidikan nasional adalah ketangguhan dalam iman dan takwaserta memiliki
akhlak mulia.Menurut Tafsir (2002), bagi umat Islam, dan khususnya dalam
pendidikan Islam, kompetensiiman dan takwa serta memiliki akhlak mulia tersebut
sudah lama disadari kepentingannya, dansudah diimplementasikan dalam lembaga
pendidikan Islam. Dalam pandangan Islam,kompetensi iman dan takwa (imtak) serta
ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek), juga akhlak mulia diperlukan oleh
manusia dalam melaksanakan tugasnya sebagai khalifah di muka bumi.Jadi, dalam
pandangan Islam, peran kekhalifahan manusia dapat direalisasikan melalui tiga
hal,yaitu:1) landasan yang kuat berupa iman dan takwa2) Penguasaan ilmu
pengetahuan dan teknologi3) akhlak muliaDengan demikian, menurut Wahid (2007),
dalam Islam tidak dikenal dikotomi antara imtak daniptek, namun justru
sebaliknya perlu keterpaduan antara keduanya, karena Alquran dan Assunahsesungguhnya
tidak membedakan antara ilmu agama Islam dengan ilmu-ilmu umum. Yang adadalam
Alquran adalah ilmu. Pembagian adanya ilmu agama Islam dan ilmu umum
merupakanhasil kesimpulan manusia yang mengidentifikasi ilmu berdasarkan sumber
objek kajiannya.Ilmu-ilmu tersebut pada hakikatnya berasal dari Allah SWT,
karena sumber ilmu tersebut berupawahyu, alam jagat raya, manusia dengan
perilakunya, alam pikiran, dan intusi batin seluruhnyaciptaan Allah yang
diberikan kepada manusia. Dengan demikian para ilmuwan dalam
berbagai bidang keahlian tersebut sebenarnya bukanlah pencipta ilmu, tapi
penemu ilmu, penciptanyaadalah Tuhan. Atas dasar paradigma tersebut, seluruh
ilmu hanya dapat dibedakan dalam namadan istilahnya, sedangkan hakikat dan
substansi ilmu tersebut sebenarnya satu dan berasal dari
Tuhan. Atas dasar
pandangan ini, maka tidak ada dikotomi yang mengistimewakan antara satuilmu
dengan ilmu yang lainnya.Dikotomi antara ilmu agama Islam dengan ilmu umum pun
terjadi dalam dunia pendidikan.Pelajaran pendidikan agama Islam di sekolah
dianggap sebagai representasi ilmu agama Islam,sedangkan pelajaran-pelajaran
lainnya dianggap sebagai ilmu-ilmu umum. Akibat dari itu semuaadalah adanya
beban yang sangat berat bagi guru yang mengajar pelajaran pendidikan agamaIslam,
yaitu seolah-olah sebagai penanggung jawab ketika terjadi hal-hal yang tidak
sesuaidengan doktrin agama.Berkaitan dengan pengembangan imtak dan akhlak mulia
maka yang perlu dikaji lebih lanjutialah peran pendidikan agama, sebagaimana
dirumuskan dalam UU No. 20 Tahun 2003 bahwa pendidikan keagamaan berfungsi
mempersiapkan peserta didik menjadi anggota masyarakatyang memahami dan
mengamalkan nilai-nilai ajaran agamanya dan/atau menjadi ahli ilmuagama.
Pendidikan keagamaan merupakan salah satu bahan kajian dalam semua kurikulum
padasemua jenjang pendidikan, mulai dari TK sampai Perguruan Tinggi. Pendidikan
Agamamerupakan salah satu mata pelajaran yang wajib diikuti oleh peserta didik
bersama denganPendidikan Kewarganegaraan dan yang lainnya.Tantangan yang
dihadapi dalam Pendidikan Agama, khususnya Pendidikan Agama Islamsebagai sebuah
mata pelajaran adalah bagaimana mengimplementasikan pendidikan agama
Islam bukan hanya mengajarkan pengetahuan tentang agama akan tetapi
bagaimana mengarahkan peserta didik agar memiliki kualitas iman, taqwa dan
akhlak mulia. Dengan demikian materi pendidikan agama bukan hanya
mengajarkan pengetahuan tentang agama akan tetapi bagaimanamembentuk
kepribadian siswa agar memiliki keimanan dan ketakwaan yang kuat dankehidupannya
senantiasa dihiasi dengan akhlak yang mulia dimanapun mereka berada, dandalam
posisi apapun mereka bekerja.Maka saat ini yang mendesak adalah bagaimana
usaha-usaha yang harus dilakukan oleh paraguru Pendidikan Agama Islam untuk
mengembangkan metode-metode pembelajaran yang dapatmemperluas pemahaman peserta
didik mengenai ajaran-ajaran agamanya, mendorong merekauntuk mengamalkannya dan
sekaligus dapat membentuk akhlak dan kepribadiannya.Salah satu metode
pembelajaran yang dapat diterapkan dalam pembelajaran Pendidikan AgamaIslam
adalah dengan Pendekatan Kontekstual atau Contextual Teaching Learning
(CTL).Sehubungan dengan hal tersebut maka makalah ini akan membahas pendekatan
kontekstualdalam pembelajaran pendidikan agama Islam sebagai salah satu
alternatif model dalam pengembangan pembelajaran PAI di sekolah.
B.
Pendekatan Kontekstual dalam Pembelajaran PAI
Dalam pembelajaran
Pendidikan Agama Islam, penguasaan guru akan materi dan pemahamanmereka dalam
memilih metode yang tepat untuk materi tersebut akan sangat
menentukankeberhasilan pencapaian tujuan pembelajaran. Salah satu metode yang
saat ini dianggap tepatdalam pembelajaran Pendidikan Agama Islam adalah melalui
pendekatan kontekstual.
Salah satu unsur
terpenting dalam penerapan pendekatan kontekstual adalah pemahaman guruuntuk
menerapkan strategi pembelajaran kontekstual di dalam kelas. Akan tetapi,
fenomena yangada menunjukkan sedikitnya pemahaman guru-guru PAI mengenai
strategi ini. Oleh karena itudiperlukan suatu model pengajaran dengan
menggunakan pembelajaran kontekstual yang mudahdipahami dan diterapkan oleh
para guru Pendidikan Agama Islam di dalam kelas secarasederhana.Pembelajaran
kontekstual didasarkan pada hasil penelitian John Dewey (1916) yangmenyimpulkan
bahwa siswa akan belajar dengan baik jika apa yang dipelajari terkait dengan
apayang telah diketahui dan dengan kegiatan atau peristiwa yang akan terjadi di
sekelilingnya.Pembelajaran ini menekankan pada daya pikir yang tinggi, transfer
ilmu pengetahuan,mengumpulkan dan menganalisis data, memecahkan masalah-masalah
tertentu baik secaraindividu maupun kelompok (Badruzaman, 2006).Jawahir (2005)
mengemukakan bahwa guru PAI dapat menggunakan strategi pembelajarankontekstual
dengan memperhatikan beberapa hal sebagai berikut, yaitu: a) memberikan
kegiatanyang bervariasi sehingga dapat melayani perbedaan individual siswa; b)
lebih mengaktifkansiswa dan guru; c) mendorong berkembangnya kemampuan baru; d)
menimbulkan jalinankegiatan belajar di sekolah, rumah dan lingkungan
masyarakat.Melalui pembelajaran ini, siswa menjadi lebih responsif dalam
menggunakan pengetahuan danketrampilan di kehidupan nyata sehingga memiliki
motivasi tinggi untuk belajar.Beberapa hal yang harus diperhatikan para guru
Pendidikan Agama Islam dalammengimplementasikan pendekatan kontestual, menurut
Humaidi (2006) adalah sebagai berikut:
1
.
Pembelajaran Berbasis Masalah
Langkah pertama yang
harus dilakukan guru adalah mengobservasi suatu fenomena, misalnya :a) menyuruh
siswa untuk menonton VCD tentang kejadian manusia, rahasia Ilahi, Takdir
Ilahi,tentang Alam Akhirat, azab Ilahi , dan sebagainya; b) menyuruh siswa
untuk melaksanakanshaum pada hari senin dan kamis, membayar zakat ke BAZ,
mengikuti sholat berjamaah dimasjid, mengikuti ibadah qurban, menyantuni fakir
miskinLangkah kedua yang dilakukan oleh guru adalah memerintahkan siswa untuk
mencatat permasalahan-permasalahan yang muncul, misalnya: a) setelah
menonton VCD ataumendengarkan kisah-kisah Al Qur`an, siswa diharuskan membuat
catatan tentang pengalamanyang mereka alami, melalui diskusi dengan
teman-temannya; b) setelah mengamati danmelakukan aktivitas keagamaan siswa
diwajibkan untuk mencatat permasalahan-permasalahanyang muncul serta mereka
dapat mengungkapkan perasaannya kemudian mendiskusikan denganteman
sekelasnya.Langkah ketiga tugas guru Pendidikan Agama Islam adalah merangsang
siswa untuk berpikir kritis dalam memecahkan permasalahan yang ada.Langkah
keempat guru diharapkan mampu untuk memotivasi siswa agar mereka berani bertanya,membuktikan
asumsi dan mendengarkan pendapat yang berbeda dengan mereka
Tidak ada komentar:
Posting Komentar