Selasa, 22 Mei 2012

ushul fiqih lafad khas


1. LAFADZ AMM DAN KHAS
Menurut para ushul fiqih ayat –ayat hokum bila dilihat dari segi cakupannya dapat dibagi kepada lafadz amm dan khas
Pengertian Lafadz Amm
Lafadz amm adalah ialah suatu lafadz yang menunjukkan satu makna yang mencangkup seluruh satuan yang tidak terbatas dalam jumlah tertentu (rahmat Syafi’I,2007.193)
Adapun dalam pendapat Al Amidi, seorang ulama’ mendefinisikan lafal amm sebagai berikut :
هوا للفظ الواحد ال علمسلمىن فصاعدامتلقامعا
Artinya : “suatu lafal yang menunjukkan dua hal atau lebih secara bersamaan dengan mutlak “
Dari devinisi diatas hakikat lafadz amm  yaitu lafadz yang terdiri dari satu pengertian tunggal, tetapi mengandung beberapa satuan pengertian  setiap lafadz tunggal dapat dipakai untuk setiuap satuan pengertian secara sama dalam penggunaannya (www.C@hya Kehidup@n.htm)
Contoh lafadz amm seperti kata-kata “ Al- insani dalanm firman Alloh :
ان الا  نسان لفى خسرالاالذىن امنوا وعملواالصالحات  (العصر)
Sesungguhnya manusia itu benar-benar berada dalam keadaan rugi, kecuali mereka yang beriman dan mengerjakan ama saleh.
Kata-kata Al insani yang artinya manusia dalam ayat ini meliputi dan mencangkup seluruh makhluk yang disebut manusia.(Zaina Abidin.1975.68)
Lafadz-lafadz yang menunjukkan umum
ü  Lafadz-lafadz, seperti;
كلّ                   : كل راع مسئول عن رعىتة
Artinya : setiap pemimpin dimintakan pertanggung jawaban tentang yang dipimpinnya
جميع               : خلق لكم ما فى الأرض جميعا
Artinya : Alloh menjadikan segala sesuatu yang ada dibumi untuk kamu………….
Penjelasan : siapa saja yang menjadi poemimpin akan dimintai pertanggung jawaban oleh Alloh dan apa saja semua yang ada di bumi dijadikan alloh untuk kepentingan manusia.
ü  Lafadz mufrad yang dima’rifatkan dengan Al-Jinsiyyah atau idhafah, berikut masing-masing contohnya :
والسارق والسارقة فاقطعواأيد يهما
Artinya : laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya……………(surat Al maidah)
الزنىة والزانى فا جلدواكلواحدمنهمامائة جلدة  (النور)
Artinya : perempuan yang berzina dan lelaki yang berzina deralah tiap-tiap seorang dari keduanya seratus kali dera
Penjelasan : semua nyang berzina baik laki-laki atau perempuan maupun lelaki wajib didera dan semua yang mencuri baik laki-laki maupun perempuan wajib dipotong tangannya
ü  Isim nakirah sesudah لا  انافية (la menidakkan) contoh:
ولاخناح عليكم فيماعرضتم به من خطبة النساء
Artinya: dan tidak ada dosa bagimu meminang wanita-wanita dengan sindiran yang baik…….(surat Al baqoroh 235)
Penjelasan : ahwasanya tidak berdosa eseorang meminang wanita dengan sindiran yang baik
ü  Isim istifham seperti ما,.من,اين,متى Firman Alloh:
متى نصرالله الاان نصرا لله قريب
Artinya: bilakah datangnya pertolongan Alloh ingatlah sesungguhnya pertolongan Alloh itu amatlah dekat.(surat Al Baqoroh 214)
Penjelasan : bahwasanya pertolongan Alloh itu bersifat umum kapan saja dapat diberikan (Zainal Abidan,1975. 70)
Dalalah al-Aam
Terdapat perbedaan pendapat mengenai karakteristik dalalah al-‘am yang tidak mengkhususkan semua satuannya, apakah pasti atau dugaan.  Menurut sebagian ulama ushul –di antaranya Syafi’iyyah- dalalah al-’am tersebut menunjukkan keumuman dan bersifat dugaan, apabila dikhususkan maka sisa satuan al-‘am juga dalalahnya dugaan. Ulama ushul lain, termasuk di dalamnya Hanafiyyah berpendapat bahwa al-‘am yang tidak dikhususkan bersifat pasti sedangkan sisa satuan setelah pengkhususan adalah dzanni (bersifat dugaan).
Pembagian al-Aam
Melalui pengkajian terhadap nash-nash, al-‘am dibagi menjadi tiga macam;
1)      ‘Am yang secara pasti bermaksud keumuman, sebagaimana firman Allah:
وََمَا مِن دَابَّةٍ فِى الأرضِ إِلاَّ عَلَى اللهِ رِزقُهَا. (هود :٦ ­)
Artinya: “Dan tidak ada satu binatang melata pun di bumi melainkan Allah pasti memberi rizkinya”.
2)      ‘Am yang secara pasti dimaksudkan sebagai kekhususan. Seperti Firman Allah SWT:
وَلله على الناس حِجُّ البَيتِ. ( ال عمران : ۹۸)
Artinya: “Menunaikan haji ke Baitullah adalah kewajiban manusia terhadap Allah”.
3)        ‘Am yang dikhususkan, yaitu al-‘am al-muthlaq yang tidak disertai qorinah yang meniadakan kemungkinan pengkhususannya atau ditiadakan dalalahnya, seperti nash yang di dalamnya terdapat lafadz-lafadz ‘am dan tidak ada qorinah lafadz, akal atau kebiasaan yang bias menentukan kekhususan ataupun keumumannya sehingga keumumannya menjadi khusus sampai ada dalil yang mengkhususkannya, contoh;  والمطلقات يتربّصن بأتفسهنّ ثلا ثة قروء “perempuan-perempuan yang dithalaq itu menunggu”. Menurut imam al-Syaukani, al-‘am yang dimaksudkan sebagai kekhususan adalah al-‘am yang ketika diucapkan disertai qorinah yang dapat menunjukkan bahwa yang dimaksud dengan al-‘am itu ialah khusus bukan umum. (Zainal Abidan,1975. 82

Lafadz khas
Seperti yang dikemukakan Adib Shalih , lafal khas yang mengandung satu pengertian secara tunggal atau beberapa pengertian yang berbatas.para ulama’ ushulm fiqih sepakat seperti yang disebutkan  Abu  Zahrah , bahwa lafadz khas dalam nash syara’, menunjukkan kepada pengertiannya yang khas secara qat’I (pasti) dan hokum yang dikandungnya bersifat qat’I selama tidak ada indikasi yang menunjukkan pengertian lain contoh lafadz khas:
……فكيفارتهاطعام عشرةمساكين من او سط ما تطعمون اهليكموكسوتهم…….(المائد)
Artinya: …maka kaffarat melanggar sumpah itu , ialah member makan sepuluh orang miskin , yaitu dari makanan yang bisa kamu berikan kepada keluargamu, atau member pakaian kepada mereka
(Qs Al Maidah 89)
Kata asyarah dalam ayat tersebut diciptakan hanya untuk bilangan sepuluh , tidak lebih dan tidak pula kurang t. arti sepuluh itu juga sudah pasti tidak ada kemungkinan pengrtian lain. Begitulah ayat khas dalam alqur’an, selama tidak ada dalil yang memalingkannya kepada pengertian lain seperti ma’na majazi (metafora). (Satria Effendi, 2005.205 )
Perbedaan Pendapat Akibat ke khotian Dilalah Khas
a)      Menurut ulama Hanafiah
Lafadz khas tidak memerlukan penjelasan dari hadits , sebab dilalah khas tidak memerlukan penjelasan. Jika ada nash lain yang bertentangan dengan lafadz khas tersebut maka dianggap sebagai nasakh lafadz khas.
b)      Menurut jumhur ulama
Bahwasanya lafadz khas itu dilalahnya qath’I namun  tetap mempunyai kemungkinan perubahan makna, sehingga apabila terdapat naskh itu dipandang sabagai penjelasan terhadap lafadz khas itu
Perbedaan itu Contohnya  pada masalah ruku’:
واركعوامعاراكعين
Artinya: ruku’lah bersama orang orang ruku’
Ulama’ hanafiah memandang bahwasanya ruku’ dalam sholat itu sebagai lafadz khas untuk suatu perbuatan yang maklum yaitu condong dan bardiri tegak tanpa tuma’ninah
Adapun hadits yang memerintahkan keharusan tuma’ninah adalah :
قم فصل لانك لم تصل
Berdirilah dan sholatlah karena engkau belum sholat
Disini ulama’ hanafiah berpendapat bahwa tuma’ninah bukan syarat sahnya sholat , menurut mereka seandainya itu syarat sahnya sholat berarti merupakan penambahan atas lafadz khas AlQuran yang jelas.
Sedangkan menurut jumhur memandang lafadz khas itu mempunyai kemungkinan adanya penjelasan atau perubahan, maka mereka memandang lafadz khas itu sebagai lafadz mujmal. Olah karena itu mereka menerima kemungkinan adanya penambahan atas lafadz khas yang terdapat dalam Alquran dengan hadits ahad yang merupakan penjelasanya .(Achmad Syaf’I.2007,190)
Macam-macam Lafadz khas
v  Lafadz has berbertuk mutlak tanpa dibatasi qayyid atau syarat
Contoh:
والذين يظهرون من نسائهم ثم يعدون لما قا لوافتحريررقبة من قبل ان يتماسا ذالكمتو عظون به والله بما تعملون خبير
Atinya : orang –orang yang mendzihar istri mereka . kemudian mereka hendak menarik kembali apa yang mereka ucapkan, maka wajib atasnya memerdekakan seorang budak sebelum kedua suami istri itu bercampur.demikianlah yang diajarkan kepadamu, dan Alloh maha mengetahui apa yang kamu kerjakan.
v  Lafadz khas berbentuk muqqoyyad (dibatasi qayyid)
Contohnya surat Annisa’ 42
ومن قتل مؤمناخطاء فتحرير رقبة مؤمنة
Artinya: barang siapa membunuh seorang mukmin karena tersalah hendaknya ia memerdekakan seotang hamba sahaya yang beriman .
v  Lafadz khas berbentuk amr
Contohnya dalam syurat annisa’ 58
ان الله ياء مروكم ان تؤدواالامنت الى اهلها
Artinya : sesungguhnya Alloh menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerinanya
v  Lafadz khas yang berbentuk larangan
Contoh surat annahl 90
ان الله ياء مرون با لعدل والاءحسن وايتائ ذئ القربى وينهى عن الفحشاء والمنكروالبغى يعظكم لعلكم تذكرون
Artinya: sesungguhnya Alloh menyuruh kamu berlaku adil dan berbuat kebajikan member kepada kaum kerabat dan Alloh melarang dari perbuatan keji kemungkaran dan permusuhan dia member pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran (www.C@hya Kehidup@n.htm smbr : Juhaya).
2. MUTLAQ DAN MUQAYYAD
Pengertian Mutlaq dan Muqayyad
Lafal Mutlaq
Kata mutlaq secara bahasa, berarti tidak terkait dengan ikatan atau syarat tertentu. Secara istilah, lafal mutlaq didefinisikan ahli ushul fiqh sebagai lafal yang memberi petunjuk terhadap maudhu’-nya (sasaran penggunaan lafal) tanpa memandang kepada satu, banyak atau sifatnya, tetapi memberi petunjuk kepada hakikat sesuatu menurut apa adanya. Sedangkan Abdul Karim Zaidan mendefinisikan lafal mutlak sebagai lafal yang menunjukkan suatu satuan dalam jenisnya. Dengan kata lain, lafal mutlak adalah lafal yang menunjukkan untuk suatu satuan tanpa dijelaskan secara tertentu. Misalnya, rajulun (seorang laki-laki), rijalun, (banyak laki-laki), kitabun (buku).
Contoh lafal mutlaq dalam nash dapat diamati dari lafal raqabah yang terdapat dalam firman Allah surat al-Mujadilah, 58:3:
والذين يظاهرون من نساءهم ثم يعودون لماقالوافتحريررقبةمن قبل ان يتماساذلكم توعظون به والله بماتعملون خبير
Orang-orang yang menzhihar isteri mereka, kemudian mereka hendak menarik kembali apa yang mereka ucapkan, maka (wajib atasnya) memerdekan seseorang budak sebelum kedua suami isteri itu bercambur. Demikianlah yang diajarkan kepada kamu, dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.
Ayat ini menjelaskan tentang kaffarat zihar bagi suami yang menyerupakan isterinya dengan ibunya dengan memerdekannya budak. Ini dipahami dari ungkapan ayat “maka merdekakanlah seorang budak” Mengingat lafal raqabah (budak) merupakan lafal mutlaq, maka perintah untuk membebaskan budak sebagai kaffarat zihar tersebut meliputi pembebasan seorang budak yang mencakup segala jenis budak, baik yang mukmin atau yang kafir. Pemahaman ini didukung pula pemakaian kata raqabah pada ayat di atas merupakan bentuk nakirah dalam konteks positif.
Contoh lafal mutlaq lain dapat ditemukan pada firman Allah surat Al-Baqarah, 2:234:
والذين يتوفون منكم ويذ رون ازواجايتربصن بانفسهن اربعة اشهرا
Orang-orang yang meninggal dunia di antaramu dengan meninggalkan isteri-isteri (hendaklah para isteri itu) menangguhkan dirinya (ber’ibadah) empat bulan sepuluh hari.
Lafal azwajan (isteri-isteri) dalam ayat ini merupakan lafal mutlaq. Oleh sebab itu, tidak debedakan apakah wanita itu digauli atau belum digauli atau belum digauli oleh suaminya, maka apabila suaminya meninggal iddah wanita tersebut empat bulan sepuluh hari.
Dilihat secara sepintas lafal mutlaq mirip dengan lafal ‘aam, tetapi sebenarnya antara keduanya berbeda. Pada lafal ‘amm keumumannya bersifat syumuliy (melingkupi), sementara keumuman lafal mutlaq bersifat badali (mengingatkan). Umum yang syumuliy ialah kulliy (keseluruhan) yang berlaku atas satuannya, sementara keumuman yang badaliy adalah kulliy dari sisi tidak terhalang menggambarkan untuk setiap satuannya, hanya menggambarkan satuan yang syumuliy. Untuk melihat perbedaan antara kedua lafal ini dapat diamati dari firman Allah di bawah ini.
1. Firman Allah dalam surat Hud, 11:6:
ومامندابة فى الارض الاعلى الله رزقهاوىعام مستقرهاومستودعهاكل فى كتاب مبين
Dan tidak ada suatu binatang melatapun di bumi melainkan Allah-lah yang memberi rezekinya, dan Dia mengetahui tempat berdiam binatang itu dan tempat penyimpanannya. Semuanya tertulis dalam kitab yang nyata (Lauh Mahfuzh).
Apabila diperhatikan secara seksama dalam ayat ini terdapat lafal ‘amm yang bersifat syuuliy (melingkupi), yaitu kata dabbah. Lafal ini umum karena bentuknya nakirah yang mencakup semua jenis binatang melata. Isyarat keumuman dalam ayat itu (menafikan sesuatu). Apabila lafal ‘amm pada ayat ini ditakhsis, bukan berarti menghapuskan makna-makna lain yang dikandung dari keumuman lafalnya. Makna-makna ini tetap dipandang ada, karena keumuman lafal ‘amm bersifat syumuli.
2. Firman Allah dalam surat al-Baqarah, 2:67
واذقال موسى لقومه ان االله يا مركم ان تذبحوابقرة قالوا اتتخذناهزواقال اعوذ با الله ان اكون من الجاهلين
Dan (ingatlah), ketika Musa berkata kepada kaumnya: Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyembelih seekor sapi betina. Mereka menjawab: Aku berlindung kepada Allah agar tidak menjadi seorang dari orang-orang yang jahil.
Dari ayat ini deketahui bahwa kata baqarah yang terdapat di dalamnya merupakan lafal mutlaq yang bersifat umum lagi bersifat badaliy. Keumuman lafal mutlaq ini meliputi bermacam-macam afrad. Apabila lafal mutlaq telah ditaqyid, maka afrad-afrad lainnya sebagai cakupan dari lafal mutlaq tersebut, tidak berkaku lagi.
Lafal Muqayyad
Secara bahasa, kata muqayyad berarti terikat. Sementara secara istilah, muqayyad adalah lafal yang menunjukkan suatu satuan dalam jenisnya yang dikaitkan dengan sifat tertentu. Misalnya, ungkapan rajulun Iraki (seorang laki-laki asal Irak), hamba sahaya yang beriman.
Menurut Abu Zahrah pembatasan ini terdiri dari sifat, hal (keadaan), ghayah, syarat, atau dengan bentuk pembatasan yang lainnya. Pengggunaan sifat sebagai pembatasan dapat diamati dari firman Allah surat al-Nisa’, 4:92:
ومن قتل مومناخطا فتحريررقبة مومنة
Barangsiapa membunuh seorang mu’min karena tersalah (hendaklah) ia memerdekakan seorang hamba sahaya yang beriman.
Kata raqabah dalam ayat ini memakai qayyid dalam bentuk sifat, yaitu, mu’minah (beriman). Jadi, ayat ini memrintahkan kepada orang yang membunuh seorang mukmin secara tidak sengaja untuk memerdekan hamba sahaya yang beriman dan tidak sah memerdekan hamba yang tidak beriman. Contoh qayyid dalam bentuk syarat dapat diamati dalam kasus kaffarat sumpah, seperti pada firman Allah surat al-Maidah, 5:89:
لايواخذكم الله باللغوفى ايمانكم ولكن يواخذكم بماعقدتم الايمان فكفارته اطعام عشرة مسا كين من اوسط ما
تطعمون اهليكم اوكسوتهم اوتحريررقبة فمن لم يجدفصيام ثلاثة ايام ذ لك كفارةايمانكم اذاحلفتم واحفظوا ايما
نكم كذالك يبين الله لكم ءاياته لعلكم تشكرون
Allah tidak menghuku kamu disebabkan sumpah-sumpahmu yang tidak dimaksud (untuk bersumpah), tetapi Dia menghukum kamu disebabka sumpah-sumpah yang kamu sengaja, maka kaffarat (melanggar) sumpah itu ialah memberi makan sepuluh orang miskin, yaitu dari makanan yang biasa kamu berikan kepada keluargamu, atau meberi pakaian kepada mereka atau memerdekakan seorang budak. Barangsiapa tidak sanggup melakukan yang demikian, maka kaffaratnya sumpah-sumpahmu bila kamu bersumpah (dan kamu langgar). Dan janganlah sumpahmu. Demikianlah Allah menerangkan kepadamu hukum-hukum-Nya agar bisa kamu bersyukur (kepada-Nya).
Ayat ini menjadi landasan tentang bolehnya puasa tiga hari untuk membayar kaffarat sumpah dengan ada qayyid daam bentuk syarat. Sebab, hal ini baru dilakukan ketika tidak mampu memberi makan sepuluh orang miskin, atau memberi pakaian kepada mereka atau memerdekakan seorang budak.
Adapun contoh muqayyad dalam bentuk ghayyah dapat diamati pada firman Allah surat al-Baqarah, 2:187:
ثم اتمواالصيام الى الليل
Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai (datang) malam.
Dalam ayat ini terdapat perintah menyempurnakan puasa yang dihubungkan dengan batas waktu (ghayah), yaitu di al-lail (malam). Atas dasar ini, terlarang melakukan puasa washal (puasa sepanjang hari).
Dari penjelasan sebelumnya diketahui bahwa perbedaan antara mutlaq dengan muqayyad, bahwa mutlaq menunjuk kepada hakikat sesuatu tanpa ada suatu keterangan yang mengikatnya dan tanpa memperhatikan satuan serta jumlah. Misalnya, lafal raqabah yang terdepat dalam surat al-Mujadilah, 58:3 di atas adalah bentuk mutlaq karena tidak diikuti sifat apapun. Jadi, ayat ini memerintahkan memerdekakan budak dalam bentuk apapun, baik mukmin atau bukan mukmin. Sementara muqayyad menunjuk kepada hakikat sesuatu, tetapi mempertimbangkan beberapa hal, yaitu jumlah (kuantitas), sifat atau keadaan, seperti pada contoh di atas.
Bentuk-bentuk Mutlaq dan Muqayyad
Kaidah lafazh mutlaq dan Muqayyad dapat dibagi dalam lima bentuk:
a. Suatu lafazh dipakai dengan mutlaq pada sauatu nash, sedangkan pada nash lain digunakan dengan muqayyad; keadaan ithlaq dan taqyid-nya bergantung pada sebab hukum.
b. Lafazh mutlaq dan muqayyad berlaku sama pada hukum dan sebabnya.
c. Lafazh mutlaq dan muqayyad yang berlaku pada nash itu berbeda, baik dalam hukumnya ataupun sebab hukumnya.
d. Mutlaq muqayyad berbeda dalam hukumnya, sedangkan sebab hukumnya salam.
e. Mutlaq dan muqayyad sama dalam hukumnya, tetapi berbeda dalam sebabnya.
Hukum Lafazh Mutlaq dan Muqayyad
Pada prinsipnya para ulama sepakat bahwa hukum lafazh mutlaq itu wajib diamlkan kemutlakannya, selama tidak ada dalik yang membatasi kemutlakannya. Begitu juga hukum lafazh muqayyad itu berlaku pada kemuqayyadannya. Yang menjadi persoalan di sini adalah mutlaq dan muqayyad yang terbentuk pada lima bentuk tersebut, ada yang disepakati dan ada yang diperselisihkan. Yang disepakati ialah:
Hukum dan sebabnya sama, di sini para ulama sepakat bahwa wajibnya membaawa lafazh mutlaq kepada muqayyad.
Hukum dan sebabnya berbeda. Dalam hal ini, para ulama sepakat wajibnya memberlakukan masing-masing lafazh, yakni mutlaq tetap pada kemutlakannya dan muqayyad tetap pada kemuqayyadannya.
Hukumnya berbeda sedangkan sebabnya sama. Pada bentuk ini, para ulama sepakat pula bahwa tidak boleh membawa lafazh mutlaq kepada muqayyad, masing-masing tetap berlaku pada kemutlakannya dan kemuqayyadannya.
Hal-Hal yang Diperselisihkan dalam Mutlaq dan Muqayyad
Kemutlaqan dan kemuqayyadan terdapat pada sebab hukum. Namun, masalah (mandu’) dan hukumnya sama. Menurut Jumhur Ulama dari kalangan Syafi’iyah, Malikiyah, dan Hamafiyah, dalam masalah ini wajib membawa mutlaq kepada muqayyad.
Oleh sebab itu, mereka tidak mewajibkan zakat fitrah kepada hamba sahayanya. Sedangkan ulama Hanafiyah tidak mewjibkan membawa lafazh mutlaq pada muqayyad. Oleh sebab itu, ulama Hanafiyah mewajibkan zakat fitrah atas hamba sahaya secara mutlaq.
Mutlaq dan muqayyad terdapat pada nash yang sama hukumnya, namun sebabnya berbeda. Masalah ini juga diperselisihkan. Menurut Ulama Hanafiyah tidak boleh membawa mutlaq pada muqayyad, melainkan masing-masingnya berlaku sesuai dengan sifatnya. Oleh sebab itu, ulama Hanafiyah, pada kafarat zihar tidak mensyaratkan hamba mukmin. Sebaliknya, menurut jumhur ulama, harus membawa mutlaq kepada muqayyad secara mutlaq. Namun, menurut sebagian ulama Syafi’iyah, mutlaq dibawa pada muqayyad apabila ada illaat hukum yang sama, yakni dengan jalan qiyas. (Al-Amidi, 1968 : 11 : 112)
Alasan Masing-masing Golongan
v    Alasan Hanafiyah
Merupakan suatu prisip bahwa kita melaksanakan adalah lafazh atas semua hukum yang dibawa saja, sesuai dengan sifatnya, sehingga lafazh muthlaq tetap pada kemuthlaqannya dan lafazh muqayyad tetap pada kemuqayyadannya. Tiap-tiap nash merupakan hujjah yang berdiri sendiri. Pembatasan terhadap  keluasan makna yang terkandung pada mutlaq tanpa dalil dari lafazh itu sendiri berarti mempersempit yang bukan dari perintah syara’. Berdasarkan pada ini, lafazh muthlaq tidak bisa dibawa pada muqayyad, kecuali apabila terjadi saling menafikan antara dua hukum, yakni sekiranya mengamalkan salah satunya membawa pada tanaqud (saling bertentangan). (Al-Bazdawy, 1307, II:290)
v            Alasan Jumhur
Al-Qur’an itu merupakan kesatuan hukum yang utuh dan antara satu ayat dengan ayat lainnya berkaitan, sehingga apabila ada suatu kata dalam Al-Qur’an yang menjelaskan hukum berarti hukum itu sama pada setiap tempat yang terdapat kata itu. (Asy-Syafi’i).
Alasan kedua, muqayyad itu harus menjadi dasar untuk menafikan dan menjelaskan maksud lafazh mutlaq. Sebab mutlaq itu kedudukannya bisa dikatakan sebagai orang dian, yang tidak menyebut qayyi. Di sini ia tidak menunjukkan adanya qayyid, dan tidak pula menolaknya, sedangkan muqayyid sebagai orang yang berbicara, yang menjelaskan adanya taqyid. Di sini tampak jelas adanya kewajiban memakai qayyid ketika adanya dan menolaknya apabila tidak adanya. Sehingga kedudukannya sebagai penafsir. Oleh sebab itu, ia lebih baik dijadikan sebagai dasar untuk menjelaskan maksud mutlaq. (Al-Amidi, 1968, II : 112).(rachmat Syafi’I,2007.212)
KESIMPULAN
Ketetapan hukum Sar’iy yang sudah digariskan oleh Al Qur’an dan As Sunnah harus dipahami dengan sungguh-sungguh, untuk melangkah kesana diperlukan kemampuan mempuni bagi calon-calon Mujtahid agar tidak terjadi produk hukum yang ngawur dan tidak bisa di pertanggung jawabkan dan diatas diterangkan cara-cara  yang digunakan adalah dengam memahami ayat yang ada dalam alqur’an dan haditst.
Bahwasanya kita ketahui dalam penjelasan diatas ada beberapa macam lafaddan dimana dari macam- macam lafadz tadi dapat diartikan menurut macam kriteria lafadz  itu, lafadz itu yakni amm, khas, mutlak, dan muqoyyad. Mempelajari ilmu ushul fiqh, mendalami dan sekaligus menguasainya pemahaman lafadz diatas adalah salah satu batu loncatan untuk menjadi pencetus hukum yang handal dan diperhitungkan.
Sampai di sini semoga tulisan yang sangat sederhana dan penuh kekurangan ini bisa dimanfa’atkan dan bila terdapat kekeliruan mohon dibetulkan.
No related posts.
http://kcpkiainws.wordpress.com/2009/06/05/lafadz-%E2%80%98am-dan-lafadz-khas/

Ia merupakan salah satu istilah yang banyak disebut dalam al-Qur’an dan tergolong kedalam lafadz musytarak (memiliki arti dan makna yang beragam) diantaranya lafadz itu disebutkan dalam surat Al-Baqarah ayat 157;
أُولَـئِكَ عَلَيْهِمْ صَلَوَاتٌ مِّن رَّبِّهِمْ وَرَحْمَةٌ وَأُولَـئِكَ هُمُ الْمُهْتَدُونَ
Mereka itulah yang mendapat keberkatan yang sempurna dan rahmat dari Tuhan mereka, dan mereka itulah orang-orang yang mendapat petunjuk.(Al-Baqarah 2:157)
DALAM ILMU USHUL FIQH
PENGERTIAN MANTUQ DAN MAFHUM
Mantuq adalah lafal yang hukumnya memuat apa yang diucapkan (makna tersurat), dedang mafhum adalah lafal yang hukumnya terkandung dalam arti dibalik manthuq (makna tersirat)
Menurut kitab mabadiulawwaliyah, mantuq adalah sesuatu yang ditunjukkan oleh suatu lafadz dalam tempat pengucapan, sedangkan mafhum adalah sesuatu yang ditunjukkan oleh suatu lafadz tidak dalam tempat pengucapan.
Jadi mantuq adalah pengertian yang ditunjukkan oleh lafadz di tempat pembicaraan dan mafhum ialah pengertian yang ditunjukkan oleh suatu lafadz tidak dalam tempat pembicaraan, tetapi dari pemahaman terdapat ucapan tersebut. Seperti firman Allah SWT
Maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan “ah”
(Q.S Al-Isra’ ayat 23)
Dalam ayat tersebut terdapat pengertian mantuq dan mafhum, pengertian mantuq yaitu ucapan lafadz itu sendiri (yang nyata = uffin) jangan kamu katakan perkataan yang keji kepada kedua orang tuamu. Sedangkan mafhum yang tidak disebutkan yaitu memukul dan menyiksanya (juga dilarang) karena lafadz-lafadz yang mengandung kepada arti, diambil dari segi pembicaraan yang nyata dinamakan mantuq dan tidak nyata disebut mafhum

PEMBAGIAN MANTUQ DAN MAFHUM
Pembagian Mantuq
Pada dasarnya mantuq ini terbagi menjadi dua bagian yaitu:
1) Nash, yaitu suatu perkataan yang jelas dan tidak mungkin di ta’wilkan lagi, seperti firman Allah SWT
Maka wajib berpuasa tiga hari (Q.S Al-Baqarah ayat 106)
2) Zahir, yatiu suatu perkataan yang menunjukkan sesuatu makna, bukan yang dimaksud dan menghendakinya kepada penta’wilan. Seperti firman Allah SWT
Dan tetap kekal Dzat Tuhanmu (Q.S Ar-Rahman ayat 27)
Wajah dalam ayat ini diartikan dengan zat, karena mustahil bagi tuhan mempunyai wajah seperti manusia.
”dan langit yang kami bangun dengan tangan” (Q.S. Adz-zariyat: 47)
Kalimat tangan ini diartikan dengan kekuasaan karena mustahil Allah mempunyai tangan seperti manusia.

Pembagian Mafhum
Mafhum dibedakan menjadi dua bagian, yakni:
1. Mafhum Muwafaqah, yaitu apabila hukum yang dipahamkan sama dengan hukum yang ditunjukkan oleh bunyi lafadz. Mafhum muwafaqah ini dibagi menjadi dua bagian:
a) Fahwal Khitab
yaitu apabila yang dipahamkan lebih utama hukumnya daripada yang diucapkan. Seperti memukul orang tua tidak boleh hukumnya, firman Allah SWT yang artinya: jangan kamu katakan kata-kata yang keji kepada kedua orangtua. Kata-kata yang keji saja tidak boleh apalagi memukulnya.
b) Lahnal Khitab
yaitu apabila yang tidak diucapkan sama hukumnya dengan diucapkan. Seperti memakan (membakar) harta anak yatim tidak boleh berdasarkan firman Allah SWT:
Sesungguhnya orang-orang yang memakan harta anak yatim secara zalim, Sebenarnya mereka itu menelan api sepenuh perutnya dan mereka akan masuk ke dalam api yang menyala-nyala (neraka).
(Q.S An-Nisa ayat 10)
Membakar atau setiap cara yang menghabiskan harta anak yatim sama hukumnya dengan memakan harta anak tersebut ang berarti dilarang (haram)
2. Mafhum Mukhalafah, yaitu pengertian yang dipahami berbeda daripada ucapan, baik dalam istinbat (menetapkan) maupun Nafi (meniadakkan). Oleh sebab hal itu yang diucapkan. Seperti firman Allah SWT:
apabila diseru untuk menunaikan shalat Jum’at, Maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli
dari ayat ini dipahami bahwa boleh jual beli dihari Jum’at sebelum azan dikumandangkan dan sesudah mengerjakan shalat Jum’at. Dalil Khitab ini dinamakan juga mafhum mukhalafah.
Macam-macam mafhum mukhalafah
1. Mafhum Shifat
yaitu menghubungkan hukum sesuatu kepada syah satu sifatnya. Seperti firman Allah SWT.
Hendaklah bebaskan seorang budak (hamba sahaya) yang mukmin” (Q.S. An-Nisa ayat 92)
2. Mafhum ’illat
yaitu menghubungkan hukum sesuatu menurut ’illatnya. Mengharamkan minuman keras karena memabukkan.
3. Mafhum ’adat
yaitu memperhubungkan hukum sesuatu kepada bilangan tertentu. Firman Allah SWT:
Dan orang-orang yang menuduh wanita-wanita yang baik-baik (berbuat zina) dan mereka tidak mendatangkan empat orang saksi, Maka deralah mereka (yang menuduh itu) delapan puluh kali dera, (Q.S. An-Nur ayat 4)
4. Mafhum ghayah
yaitu lafaz yang menunjukkan hukum sampai kepada ghayah (batasan, hinggaan), hingga lafaz ghayah ini adakalnya ”ilaa” dan dengan ”hakta”. Seperti firman Allah SWT.
apabila kamu hendak mengerjakan shalat, Maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku,
(Q.S Al-Maidah ayat 6)
Firman Allah SWT
dan janganlah kamu mendekati mereka, sebelum mereka suci
(Q.S. Al-Baqarah ayat 222)
5. Mafhum had
yaitu menentukan hukum dengan disebutkan suatu ’adad diantara adat-adatnya. Seperti firman Allah SWT.:
Katakanlah: “Tiadalah Aku peroleh dalam wahyu yang diwahyukan kepadaku, sesuatu yang diharamkan bagi orang yang hendak memakannya, kecuali kalau makanan itu bangkai, atau darah yang mengalir atau daging babi – Karena Sesungguhnya semua itu kotor – atau binatang yang disembelih atas nama selain Allah.
6. Mafhum Laqaab
yaitu menggantungkan hukum kepada isim alam atau isim fa’il, seperti sabda Nabi SAW
SYARAT-SAYRAT MAFHUM MUKHALAFAH
syarat-syaraf mafhum Mukhalafah, adalah seperti yang dimukakan oleh A.Hanafie dalam bukunya Ushul Fiqhi, se­bagai berikut:
Untuk syahnya mafhum mukhalafah, diperlukan empat syarat:
1. Mafhum mukhalafah tidak berlawanan dengan dalil yang lebih kuat, baik dalil mantuq maupun mafhum muwafaqah. Contoh yang berlawanan dengan dalil mantuq:
“Jangan kamu bunuh anak-anakmu karena takut kemiskin­an”
(Q. S Isra’ ayat 31).
Mafhumnya, kalau bukan karena takut kemiskinan di­bunuh, tetapi mafhum mukhalafah ini berlawanan dengan dalil manthuq, ialah:
“Jangan kamu membunuh manusia yang dilarang Allah kecuali
dengan kebenaran (Q.S Isra’ ayat 33)”
Contoh yang berlawanan dengan mafhum muwafaqah:
“Janganlah engkau mengeluarkan kata yang kasar kepada orang tua, dan jangan pula engkau hardik (Q.S Isra’ ayat 23).
Yang disebutkan, hanya kata-kata yang kasar mafhum mukhalafahnya boleh memukuli. Tetapi mafhum ini berla­wanan dengan mafhum muwafaqahnya, yaitu tidak boleh memukuli.

2. Yang disebutkan (manthuq) bukan suatu hal yang biasanya terjadi.
Contoh:
“Dan anak tirimu yang ada dalam pemeliharaanmu”
(Q.S An-Nisa’ ayat 23).
Dan perkataan “yang ada dalam pemeliharaanmu” tidak boleh dipahamkan bahwa yang tidak ada dalam peme­liharaanmu boleh dikawini. Perkataan itu disebutkan, se­bab memang biasanya anak tiri dipelihara ayah tiri karena mengikuti ibunya.

3. Yang disebutkan (manthuq) bukan dimaksudkan untuk menguatkan sesuatu keadaan.
Contoh:
“Orang Islam ialah orang yang tidak mengganggu orang-­orang Islam lainnya, baik dengan tangan ataupun dengan lisannya (Hadits)”.
Dengan perkataan “orang-orang Islam (Muslimin) tidak dipahamkan bahwa orang-orang yang bukan Islam boleh diganggu. Sebab dengan perkataan tersebut dimaksudkan, alangkah pentingnya hidup rukun dan damai di antara orang-orang Islam sendiri.

4. Yang disebutkan (manthuq) harus berdiri sendiri, tidak mengikuti kepada yang lain.
Contoh:
“Janganlah kamu campuri mereka (isteri-isterimu) padahal kamu sedang beritikaf di mesjid (Q.S Al-Baqarah ayat 187)”.
Tidak dapat dipahamkan, kalau tidak beritikaf dimasjid, boleh mencampuri

Debat majelis ulama indonesia


Top of Form
Bottom of Form
http://www.mui.or.id/templates/redevo_aphelion/images/dotted.gif


Nikah Mut’ah dalam Islam…




Kamis, 08 Juli 2010 11:08
Assalamu’alaikum Wr. Wb.
Saya ingin menanyakan tentang nikah mut’ah dalam Islam. Saya janda dengan dua orang anak yang ditinggal suami karena kematian. Saat ini saya menjalani pernikahan mut’ah dengan seorang laki-laki sudah dua tahun lamanya. Kami menikah dengan alasan tidak mau tidak dijalan Allah, saat kami menikah tidak ada siapapun yang tahu tentang pernikahan kami. Waktu terus berlanjut, tapi setiap saya menanyakannya tentang kapan pastinya pernikahan yang sesungguhnya akan dijalankan, pasangan saya selalu bicara dua tahun lagi. Saya mendesak banget kare keluarga juga sudah bertanya dan saya memikirkan perkembangan anak-anak saya nanti. Dia menunda pernikahan yang sebenarnya dengan alas an ada hal-hal yang harus dia buktikan dahulu (pekerjaan) kepada keluarganya. Padahal anak-anak saya sudah merasa bahwa dia adalah bapak mereka dan saya meyakini kalau rezeki tidak akan ke mana. Terus terang pengetahuan saya tentang aturan pernikahan memang tidak banyak, malah dahulu dia yang menyarankan untuk dilakukannya nikah mut’ah antara kami. Yang menjadi pertanyaan saya adalah:
1. Apa dan bagaimana aturan/hadis tentang nikah mut’ah dalam Islam?
2. Sampai kapan nikah mut’ah itu berlaku?
3. Apa yang bisa saya jadikan alas an kuat kepada pasangan agar dapat segera melangsungkan pernikahan sesungguhnya?
Demikian, dan terimakasih atas bimbingannya
Wassalam,
Khadijah.
Alhamdulillah, was-shalatu was-salamu ‘ala rasulillah, la haula wala quwwata illa billah, waba’du.
Ibu Khadijah yang budiman, Saya mengapresiasi usaha ibu yang selalu mencari kebenaran, termasuk dalam hal status perkawinan ibu. Perlu diketahui, bahwa kebenaran menurut ajaran Islam adalah jika sesuai dengan firman Allah SWT dalam al-Quran al-karim dan sesuai dengan petunjuk Rasulullah SAW dalam sunnahnya, sebagaimana dinyatakan dalam sebuah hadis yang artinya :
“Aku tinggalkan kepada kalian dua hal yang kalian tidak akan tersesat jika berpegang teguh kepada keduanya: kitab Allah (al-quran) dan sunnah rasulNya” .
Dari hadis tersebut dapat diketahui bahwa ajaran yang tidak sesuai dengan kitabullah dan sunnah rasulNya adalah ajaran yang tersesat jalan, termasuk dalam hal pernikahan.
Dalam ajaran Islam, maksud utama dari pernikahan itu selain sebagai ibadah adalah untuk membangun ikatan keluarga yang langgeng (mitsaqan ghalidzha) yang dipenuhi dengan sinar kedamaian (sakinah), saling cinta (mawaddah), dan saling kasih-sayang (rahmah). Dengan begitu, ikatan pernikahan yang tidak ditujukan untuk membangun rumah tangga secara langgeng, tidaklah sesuai dengan tujuan ajaran Islam.
Di samping itu, jika kita tengok sejarah awal Islam, di mana ketika itu masyarakat jahiliyah tidak memberikan kepada wanita hak-haknya sebagaimana mestinya karena wanita ketika itu lebih dianggap sebagai barang yang bisa ditukar seenaknya, dapat kita ketahui betapa ajaran Islam menginginkan agar para wanita dapat diberikan hak-haknya sebagaimana mestinya. Oleh karenanya, dengan syariat nikah menurut Islam ini, ajaran Islam ingin melindungi para wanita untuk mendapatkan hak-haknya. Para wanita tidak dapat dipertukarkan lagi sebagaimana zaman jahiliyah. Para wanita selain harus menjalankan kewajibannya sebagai istri, juga mempunyai hak untuk diperlakukan secara baik (mu’asyarah bil ma’ruf), dan ketika suami meninggal ia juga dapat bagian dari harta warisan.
Demikian tujuan nikah menurut ajaran Islam. Sedangkan nikah mut’ah adalah nikah kontrak dalam jangka waktu tertentu, sehingga apabila waktunya telah habis maka dengan sendirinya nikah tersebut bubar tanpa adanya talak. Dalam nikah mut’ah si wanita yang menjadi istri juga tidak mempunyai hak waris jika si suami meninggal. Dengan begitu, tujuan nikah mut’ah ini tidak sesuai dengan tujuan nikah menurut ajaran Islam sebagaimana disebutkan di atas, dan dalam nikah mut’ah ini pihak wanita teramat sangat dirugikan. Oleh karenanya nikah mut’ah ini dilarang oleh Islam.
Dalam hal ini syaikh al-Bakri dalam kitabnya I’anah at-Thalibin menyatakan yang artinya:
“Kesimpulannya, nikah mut’ah ini haram hukumnya. Nikah ini disebut nikah mut’ah karena tujuannya adalah untuk mencari kesenangan belaka, tidak untuk membangun rumah tangga yang melahirkan anak dan juga saling mewarisi, yang keduanya merupakan tujuan utama dari ikatan pernikahan dan menimbulkan konsekwensi langgengnya pernikahan”.
Memang benar bahwa nikah mut’ah ini pernah dibolehkan ketika awal Islam, tapi kemudian diharamkan, sebagaimana dinyatakan oleh al-Imam an-Nawawi dalam kitabnya Syarh Shahih Muslim yang artinya:
“yang benar dalam masalah nikah mut’ah ini adalah bahwa pernah dibolehkan dan kemudian diharamkan sebanyak dua kali; yakni dibolehkan sebelum perang Khaibar, tapi kemudian diharamkan ketika perang Khaibar. Kemudian dibolehkan selama tiga hari ketika fathu Makkah, atau hari perang Authas, kemudian setelah itu diharamkan untuk selamanya sampai hari kiamat”.
Alasan kenapa ketika itu dibolehkan melaksanakan nikah mut’ah, karena ketika itu dalam keadaan perang yang jauh dari istri, sehingga para sahabat yang ikut perang merasa sangat berat. Dan lagi pada masa itu masih dalam masa peralihan dari kebiasaan zaman jahiliyah. Jadi wajar jika Allah memberikan keringanan (rukhshah) bagi para sahabat ketika itu.
Ada pendapat yang membolehkan nikah mut’ah ini berdasarkan fatwa sahabat Ibnu Abbas r.a., padahal fatwa tersebut telah direvisi oleh Ibnu Abbas sendiri, sebagaimana disebutkan dalam kitab fiqh as-sunnah yang artinya:
Diriwayatkan dari beberapa sahabat dan beberapa tabi’in bahwa nikah mut’ah hukumnya boleh, dan yang paling populer pendapat ini dinisbahkan kepada sahabat Ibnu Abbas r.a., dan dalam kitab Tahzhib as-Sunan dikatakan: sedangkan Ibnu Abbas membolehkan nikah mut’ah ini tidaklah secara mutlak, akan tetapi hanya ketika dalam keadaan dharurat. Akan tetapi ketika banyak yang melakukannya dengan tanpa mempertimbangkan kedharuratannya, maka ia merefisi pendapatnya tersebut. Ia berkata: “inna lillahi wainna ilaihi raji’un, demi Allah saya tidak memfatwakan seperti itu (hanya untuk kesenangan belaka), tidak seperti itu yang saya inginkan. Saya tidak menghalalkan nikah mut’ah kecuali ketika dalam keadaan dharurat, sebagaimana halalnya bangkai, darah dan daging babi ketika dalam keadaan dharurat, yang asalnya tidak halal kecuali bagi orang yang kepepet dalam keadaan dharurat. Nikah mut’ah itu sama seperti bangkai, darah, dan daging babi, yang awalnya haram hukumnya, tapi ketika dalam keadaan dharurat maka hukumnya menjadi boleh”
Namun demikian, pendapat yang menghalalkan nikah mut’ah tersebut tidaklah kuat untuk dijadikan dasar hukum. Sedangkan pendapat yang mengharamkannya dasar hukumnya sangat kuat, sebab dilandaskan di atas hadis shahih yang artinya :
“Diriwayatkan bahwa sahabat Ali r.a. berkata: Rasulullah s.a.w. melarang nikah mut’ah ketika perang Khaibar” Hadis dianggap shahih oleh imam Bukhari dan Muslim.
Hadis lain menyatakan:
“Diriwayatkan bahwa sahabat Salamah bin al-Akwa’ r.a. berkata: Rasulullah s.a.w. memperbolehkan nikah mut’ah selama tiga hari pada tahun Authas (ketika ditundukkannya Makkah, fathu Makkah) kemudian (setelah itu) melarangnya” HR. Muslim.
Di hadis lain disebutkan:
“Diriwayatkan dari Rabi’ bin Sabrah r.a. sesungguhnya rasulullah s.a.w. bersabda: “wahai sekalian manusia, sesungguhnya aku pernah mengizinkan nikah mut’ah, dan sesungguhnya Allah telah mengharamkannya sampai hari kiamat, oleh karenanya barangsiapa yang masih mempunyai ikatan mut’ah maka segera lepaskanlah, dan jangan kalian ambil apa yang telah kalian berikan kepada wanita yang kalian mut’ah” HR. Muslim, Abu Dawud, an-Nasai, Ibnu Majah, Ahmad, dan Ibnu Hibban.
Hadis-hadis tersebut cukup kuat untuk dijadikan pijakan menetapkan hukum haram bagi nikah mut’ah, dan sangat terang benderang menjelaskan bahwa Islam melarang nikah mut’ah. Oleh karena itu, jika saat ini ada yang melaksanakan nikah mut’ah maka ia telah dianggap melanggar ajaran Islam dan secara otomatis nikahnya tersebut batal, sebagaimana disebutkan oleh al-Imam an-Nawawi dalam Syarh Shahih Muslim:
“Para ulama sepakat (ijma’) bahwa jika saat ini ada yang melaksanakan nikah mut’ah maka hukumnya tidak sah (batal), baik sebelum atau sesudah dilakukan hubungan badan”
Dari penjelasan tersebut, dapat disimpulkan bahwa nikah mut’ah pernah dibolehkan ketika zaman Rasul s.a.w. masih hidup, tapi kemudian diharamkan oleh rasulullah s.a.w. sampai hari kiamat. Jika ada yang melaksanakan nikah mut’ah pada masa sekarang, maka nikah mut’ah tersebut hukumnya batal.
Dengan begitu, kiranya pertanyaan ibu sudah terjawab semuanya. Sebenarnya melalui pertanyaan yang ibu ajukan, saya menangkap kesan bahwa ibu sudah tidak yakin dengan sahnya nikah mut’ah yang ibu lakukan. Berkali-kali ibu menyebutkan ingin “nikah sesungguhnya”. Apalagi pernikahan ibu dilakukan “dengan tanpa diketahui siapapun”. Sedangkan dalam Islam pernikahan selain harus ada wali juga harus ada yang menjadi saksi, sehingga tetap harus ada orang yang menyaksikan. Selain itu, ajaran Islam juga sangat menganjurkan adanya walimah (semacam pesta). Tujuannya, agar semakin banyak orang yang menjadi saksi bahwa kedua orang tersebut telah menjalin ikatan pernikahan. Saksi ini penting, karena setelah akad nikah selesai kedua mempelai, yakni suami dan istri, saling mempunyai hak-hak perdata, misalnya dalam hal warisan. Jika ada sengketa di kemudian hari, misalnya, maka kedudukan istri untuk menuntut haknya akan semakin kuat, karena ada banyak saksi. Ketentuan ini tentu tidak berlaku terhadap nikah mut’ah, karena dalam nikah mut’ah ketika jangka waktu pernikahan telah habis, maka tanpa talakpun secara otomatis tidak ada lagi hubungan antara kedua orang tersebut. Dan jangan lupa, dalam nikah mut’ah istri tidak berhak mendapat warisan dari suami, ketika, misalnya, suaminya tersebut meninggal. Tegasnya, dengan nikah mut’ah, para wanita yang menjadi istri kedudukannya sangatlah lemah. Oleh karenanya Islam melarang nikah mut’ah tersebut.
Apabila kita renungkan dengan hati yang jernih, betapa ajaran Islam itu sangat indah, jika dilaksanakan dengan tulus ikhlas, sesuai dengan kehendak Allah SWT. Sekarang tinggal kemauan dan kesungguhan dari kita, umat manusia, untuk tunduk dan mematuhi sabda rasulullah s.a.w. tersebut. Kemuliaan di sisi Allah SWT adalah bagi orang yang rela mendahulukan dan tunduk kepada aturan-aturanNya sebagaimana disampaikan oleh utusanNya. Oleh karenanya, saya menyarankan kepada ibu, selagi masih ada kesempatan segeralah menyatakan penyesalan secara bersungguh-sungguh dengan bertaubat, dan mulailah dengan ikatan pernikahan yang diridhai oleh Allah SWT. Yakinlah, bahwa ampunan Allah itu maha luas, dan tetapkan hati bahwa Allah ‘azza wajalla akan senantiasa bersama orang yang tunduk terhadap aturan-aturanNya.Wallahu a’lam bi as-shawab (Oleh Drs. H. Sholahudin al Aiyub, M.Sc)

 
Menu Utama
Majalah MUI
http://www.mui.or.id/images/stories/majalah/cover%20ulama_november%202011.jpghttp://www.mui.or.id/images/stories/majalah/edisi-nov-2011.gif
Ketua Umum MUI
http://www.mui.or.id/images/stories/photo/ali.jpg
http://www.mui.or.id/images/stories/photo/ham.jpg
Lembaga MUI
Kegiatan MUI
Baner
Resensi Buku
Baner
Konsultasi Agama
Hukum Wanita Haid Membaca Al-Quran?
Assalamualaikum Wr. Wb.
Pengelola konsultasi agama yang saya hormati, ijinkan saya mengajukan beberapa pertanyaan berikut: pertama, apa hukum wanita yang sedang haid/nifas membaca al-Quran?
Artikel List
UNTUK TAMPILAN TERBAIK GUNAKAN BROWSER MOZILLA FIREFOX, KELUAR DARI INTERNET EXPLORER = Sekretariat MUI, Jl. Proklamasi No.51 Menteng Jakarta Pusat Telp.021-31902666, Fax.021-31905266